PENDAHULUAN
Hubungan Internasional menjadi suatu
ilmu yang sangat penting sejak awal Perang Dunia 1 pada tahun 1914-1918.
Hubungan antar negara sangat penting dirasakan pada masa ini, mengingat
terjadinya perang membuat negara-negara dunia untuk selalu dapat menjalin kerjasama
dan menjaga perdamaian.
Muncullah pada abad
20 suatu bidang studi yang terorganisasi dan dimasukkan dalam kurikulum
beberapa universitas di Amerika Serikat, yaitu bidang studi Hubungan
Internasional. Kurikulum ini berdiri sendiri karena ingin memahami sebab-sebab
terjadinya konflik akibat yang timbulkan dan untuk membentuk keadaan dunia yang
lebih aman dan damai.
Menurut ilmu sejarah, tulisan mengenai HI
dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu yang ditulis sebelum Perang Dunia
I dan yang ditulis setelahnya. Golongan pertama disebut warisan klasik dalam HI
dan mencakup berbagai studi tentang teori politik, hukum, sejarah, dan
diplomasi. Golongan yang kedua adalah karya-karya yang dihasilkan melalui
pengajaran dan penelitian setelah HI menjadi kajian di universitas setelah
tahun 1918. Perkembangan HI sebagai studi akademis melewati tiga
tahapan, yaitu tahap tradisional, behavioural, dan post-behavioural.
Banyak terjadi
perdebatan sejak hubungan internasional menjadi subjek akademik pada Perang
Dunia I antara perdebatan Liberalisme[1]
melawan Rasionalisme[2].
Perdebatan ini terjadi antara rentang
waktu 1920-1940an. Perdebatan
yang kedua terjadi antara pendekatan Tradisional dan Behaviouralisme. Terjadi pada era 1960-an dimana kaum
tradisionalis yang menggunakan metode holistik dengan kaum behavioralis yang
mengedepankan penerapan metode ilmiah dalam menjelaskan fenomena hubungan
internasional.
PENDEKATAN TRADISIONAL
Tradisionalisme merupakan metodologi yang
bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis, dan hasil penelitiannya
bersifat subjektif. Pendekatan Tradisionalisme berasumsi bahwa fakta dan
kebenaran terdapat di dalam diri manusia sendiri, dan tradisionalisme merupakan
metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis.
Pendekatan tradisional merupakan pendekatan
holistik yang menerima kompleksitas dunia manusia, melihat hubungan internasional
sebagai bagian dari dunia manusia, dan berupaya memahaminya dengan cara-cara
kemanusiaan. Pendekatan tradisional tidak memiliki metodologi eksplisit.
Pendekatan ini juga tidak membuat kerangka hipotesis dan pengujiannya, tidak
menjalankan alat-alat observasi yang formal, tidak mengumpulkan dan
mengorganisasikan data.[3]
Pendekatan tradisional ini lebih beroreantasi pada manusia itu
sendiri karena pada dasarnya Hubungan Internasional ini merupakan hubungan
antar negara, antar bangsa, serta antar aktor. Tentunya aktor yang berperan
dalam dunia ini adalah interaksi manusia secara global. Memahaminya dan
mempelajarinya pun dengan cara-cara kemanusiaan yang dilihat dari sifat dan
tindakan manusia itu sendiri, tanpa adanya kerangka observasi ilmiah sama sekali.
Pendekatan klasik mengabaikan penelitian metodologi kuantitatif bagi Hubungan
Internasional. Pendekatan klasik ini justru lebih melihat pada teori-teori yang
dibatasi pada sejarah (waktu) dan budaya (tempat).
Dalam pendekatan klasik ini, pandangan mengenai
teori dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendekatan klasik memiliki beberapa
asumsi, yaitu: (1) jika kita membatasi diri dengan standar-standar verifikasi
dan kuantifikasi yang ketat, maka hanya sedikit hal penting yang dapat
dikatakan mengenai hubungan internasional, (2) pengetahuan mengenai hubungan
internasional harus berasal dari proses ilmiah yang tidak sempurna, yang
melibatkan persepsi dan intuisi, dan (3) generalisasi mengenai HI harus selalu
bersifat tentatif.[4]
Pendekatan klasik menganggap bahwa
pandangan yang memperkuat studi ini merupakan masalah pengalaman dalam praktek
atau keahlian keilmuan, yaitu seperti mengamati, membaca, meneliti, memikirkan
dan menulis tentang hubungan internasional.
Menurut Charles A. McClelland, seseorang yang belajar Ilmu Hubungan
Internasional harus punya dasar pengetahuan yang kuat tentang sejarah berbagai
negara. Diperlukan pengalaman langsung dengan menetap atau meneliti di
negara-negara yang dipelajari.[5]
Paham Tradisionalis ini menekankan pada sejarah yang kuat.
Bahwasannya seseorang harus menegtahui sejarah atau latar belakang suatu negara
untuk dapat mengetahui dan mempelajarinya bedasarkan pengalaman langsung dan
tindakan-tindakan langsung dari aktor tersebut.
Bagi Hans J. Morgenthau, Henry Kissinger atau Hedley Bull, renungan
atas pengalaman pribadi langsung dan studi sejarah merupakan jalan terbaik ke
arah pengetahuan tentang hubungan internasional.[6]
Morgenthau pun demikian erat kaitannya dengan sejarah. Karena
dengan sejarah seseorang dapat memahi lebih dalam apa yang terjadi di masa
lampau dan mungkin akan menjadi dampak di masa kini.
Bagi Hedley Bull, aktivitas penelitian tersebut pada dasarnya
mencangkup suatu pemikiran topik penting yang diselidiki melalui beberapa
kesimpulan, meskipun baru permulaan. Bull berhadapan dengan topik-topik besar
seperti keamanan internasional, ketertiban internasional, keadilan
internasional. Menurutnya seseorang dapat menghadapi hanya dan juga dengan
topik-topik kecil. Tetapi yang paling penting dalam menjalankan penelitian
bukan metodologi ilmiah. Ialah pengetahuan tentang subtansi dan khususnya
pengetahuan historis.[7]
Para teoritisi tradisionalis berpendapat bahwa hampir semua hal
tentang hubungan internasional telah diketahui dan dipahami oleh generasi
teoritisi yang terdahulu. Karena itu penting mengungkapkan kembali pengetahuan
ini kepada setiap generasi baru dan menerapkannya ke fakta dan situasi masa
kini. Pengetahuan tentang hubungan internasional harus diperoleh melalui
pengalaman praktis dan studi masa lalu.
Menurut Bull (1969), Hubungan Internasional bukan merupakan
disiplin tunggal, melainkan interdisipliner dan berdasar pada tiga disiplin
yang telah mapan yaitu sejarah, teori politik dan filsafat dan hukum
internasional.[8]
Para teoritisi diatas berpendapat bahwa sejarah merupakan hal yang
terpenting karena merupakan satu-satunya cara akademik untuk menguasai
karakteristik suatu negara, karena semua negara memiliki karakterisktik yang
berbeda-beda. Tidak ada dua negara yang sama sekalipun mungkin mereka memiliki
sebagian karakteristik yang penting. Disebabkan negara memiliki sejarah yang
berbeda dan beralokasi pada tempat-tempat tertentu.
Bahasan
tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang
dasar, masalah kedaulatan,
kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga
kenegaraan seperti parlemen dan
lain-lain. Dengan kata lain,
pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional.
Setidaknya,
ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:[9]
§
Legalisme
(legalism), yang mengkaji aspek hukum,
yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum.
§
Strukturalisme,
yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama
atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat
menentukan perilakuseseorang.
§
Holistik
(holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau
holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu
seperti legislatif.
§
Sejarah
atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam
aspek sejarah seperti
kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan.
§
Analisis
normatif atau normative
analysis yang menekankan
analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.
KESIMPULAN
Pendekatan tradisional lebih mengusulkan kepada metode observasi
dan sudut pandang pengalaman praktis dan studi masa lalu. Pendekatan ini lebih
menekankan pada sejarah dan diplomasi. Dilihat dari bagaimana suatu aktor
berinteraksi dengan antar bangsa dan negara internasional. Maka sifat
diplomasinya sangat tinggi dikarenakan peranannya lebih kepada interaksi antar
aktor. Penelitiannya pun dilihat dari sifat-sifat maupun tindakan aktor tersebut.
Tidak ada kajian ilmiah dalam faham ini. Justru hanya melihat pada pendekatan
negara dan aktor negara tersebut.
Pendekatan ini menekankan pada sejarah negara yang ingin
ditelitinya. Karena menurut para teoritisi sejarah merupakan hal terpenting
dalam memahami suatu negara. Berkenaan dengan ini dengan melihat sejarah maka
akan mengetahui karakteristik negara tersebut. Karena setiap negara memiliki
karakteristik tersendiri berbeda dengan negara lainnya. Disebabkan perbedaan
tempat atau wilayah serta budaya di masing-masing negara.
Berbeda halnya dengan kaum behavioralis yang meyakini akan
kemampuan prediksi atau analisis kemungkinan dalam mempelajari hubungan antar
manusia melalui ukuran-ukuran yang tepat. Pendekatan ini mengedepankan pada
metode dan metodologi saja. Bisa dikatakan pendekatan ini memakai sikap dan
metode ilmiah. Metodologi yang dipakai misalnya pengukuran, klasifikasi,
generalisasi, dan akhirnya pengesahan hipotesis, yaitu, pola perilaku yang
dijelaskan secara ilmiah.
Kaum behavioralis menganggap bahwa kaum tradisionalis mengabaikan
perumusan dan pengujian hipotesis. Di sini jelas bahwa ilmuwan behavioralis
mengarahkan kegiatan observasi mereka terhadap sebanyak mungkin kasus demi
mencari pola berulang. Namun, banyak kaum tradisionalis yang meragukan
pandangan kaum behavioralis dalam melakukan metode ilmiah ini, karena menurut
mereka fenomena-fenomena hubungan internasional terlalu kompleks dan tidak
semuanya bisa direpresentasikan dalam bentuk variabel-variabel. Dan akhirnya
Kedua pendekatan tradisionalisme dan behavioralisme ini akhirnya sama-sama
digunakan dalam studi HI.
SUMBER REFERENSI
Buku Referensi:
Mas’oed, Mohtar. 1994. Ilmu Hubungan Internasional disiplin dan
metodologi. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations,Oxford
University Press.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan
Tema. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Akses internet :
diakses
8/11/12 pukul 20:30 WIB.
http://wikipedia.org diakses 17/11/12 pukul 11:20 WIB.
[1] Menurut Jill Steans, asumsi-asumsi dasar liberalisme
antara lain meyakini bahwa manusia adalah makhluk rasional, menempatkan
kebebasan individu di atas segalanya, berpandangan positif terhadap
karakteristik manusia, yakin terhadap kemajuan, dan menentang pembagian antara
wilayah domestik dan internasional.
Paham ini diperkenalkan oleh Woodrow Wilson 1919.
[2] Menurut Jackson
dan Sorensen, ide dan asumsi dasar kaum realis adalah: Pandangan pesimis atas
sifat dasar manusia; Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya
konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui
perang; Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup
negara
[5] Dalam buku Mohtar Mas’oed hal 63. Didasarkan pada tulisan Charles A.
McClelland, “International Relations:Wisdom or Science?”
[6] Dalam J.N.Rosenau (Ed.), International Politics and Foreign Policy (Free
Press 1969) buku disiplin dan metodologi hal 65.
[7] Dalam pengantar studi hubungan internasional hal 289.
[8] Pengantar studi hubungan internasional.
[9] Dikutip dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Ilmu_politik
*Disusun dan diajukan sebagai tugas mata kuliah Metodologi Hubungan Internasional