Laman

 photo tabfashion.png photo tabtumblr.png photo tabtutorial.png
 photo tabtutorial.png

Politik Luar Negeri dan Diplomasi Republik Indonesia Era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam suatu negara, tentunya terdapat politik dalam negeri yang menyangkut tujuan-tujuan nasional suatu negara untuk bangsa, yang dimaksud dalam arti kepentingan nasional. Politik dalam negeri bertujuan untuk mengatur situasi regional suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya bukanlah hanya suatu konsep yang bisa membangun eksistensi suatu negara di dunia internasional dan dalam mewujudkan cita-cita suatu negara. Wujudnya dalam dunia internasional, suatu negara tidak bisa dengan hanya mengandalkan politik dalam negeri nya saja dalam membangun kemajuan bidang ekonomi, politik, sosial-budaya nya dan juga bereksistensi di dalam dunia internasional. Dalam hal ini di butuhkan suatu konsep politik luar negeri dalam rangka bagaimana suatu negara bisa mencapai kepentingan nasionalnya dan bereksistensi dalam berpengaruh di dunia internasional.
Di negara Indonesia munculnya politik luar negeri pada bulan September 1948 yang secara nyata di rumuskan oleh Mohammad Hatta dalam berpidato di depan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang menguraikan mengenai arah yang tepat untuk keijaksanaan poltik luar negeri dengan menyatakan prinsip “bebas dan aktif”, yaitu bebas, yang berarti Indonesia tidak berpihak di antara Blok Timur dan Blok Barat dan menempuh jalannya sendiri dalam berbagai masalah internasional, sedangkan aktif yang berarti bekerja secara semangat pemeliharaan dan perdamaian melalui dukungan kuat jika mungkin oleh mayoritas anggota PBB.
Perkembangan politik luar negeri Indonesia sejak Demokrasi Parlementer, Terpimpin (Orde Lama), Pancasila (Orde Baru), hingga pasca Orde Baru atau Reformasi mempunyai pelaksanaan yang berbeda dalam masing-masing masa nya. Dalam hal tersebut, faktor internal dan faktor eksternal mempengaruhi karakteristik politik luar negeri pada setiap periode pemerintahan yang ada di Indonesia. Di masa Demokrasi Parlementer dan Orde Baru politik luar negeri Indonesia masih berkaitan dengan masa awal kemerdekaan Indonesia yang masih mencari prinsip politik luar negeri Indonesia itu sendiri. Lain hal nya di masa Orde Baru dan Reformasi, politik luar negeri Indonesia mulai berperan aktif pada pelaksanaanya. Dan oleh karena itu di dalam makalah ini penulis akan menjelaskan tentang bagaimana politik luar negeri dan diplomasi Indonesia di masa pasca Orde Baru atau Reformasi pada pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004). Karena di masa kepemimpinannya dan pemerintahannya, politik luar negeri Indonesia sangat di perankan dalam mempertahankan keadaan dalam negeri Indonesia dan berperan dalam dunia internasional. Selain itu Politik luar negeri pada masa pemerintahannya, salah satu yang menjadi fokus dalam politik luar negeri nya yaitu kebijakan melawan terorisme serta peningkatan peran diplomasi Indonesia di organisasi-organisasi Internasional mengenai berbagai isu-isu internasional yang sedang terjadi. Karena itu, tertarik dengan politik luar negeri Indonesia di masa presiden Megawati Soekarnoputri, penulis tertarik membuat makalah tentang politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pada masa orde Reformasi pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004).

I.2 Maksud dan Tujuan
Dalam makalah ini penulis bermaksud membuat makalah ini agar mengetahui bagaimana wujud pelaksanaan  politik luar negeri serta diplomasi Indonesia pada masa orde Reformasi pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004). Dan di buatnya makalah ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan politik luar negeri serta diplomasi di masa pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri sehingga meningkatkan dan menambah pengetahuan bagi pembaca makalah yang dibuat oleh penulis ini.

I.3 Ruang Lingkup
Pembahasan dalam makalah ini, penulis membatasi penulisan makalah yaitu dengan menjelaskan tentang pelaksanaan politik luar negeri di masa presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004), serta menjelaskan apasaja kebijakan-kebijakan yang di lakukan di dalam masa kepemimpinannya, yaitu terkait dengan kemanan (pembelian Sukhoi) dan penyelesaian masalah hutang luar negeri.

I.4 Metode Penulisan
Dalam makalah ini penulis menggunakan metode penulisan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan menggambarkan atau menjelaskan pelaksanaan politik luar negeri di masa pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Mengutip Bogdan & Taylor yang mendefinisikan, bahwa metode kualitatif yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat di amati. Dan juga makalah ini bersumber dari data primer yaitu yang berasal dari buku rujukan, makalah, jurnal ilmiah, dan data-data dari internet yang ada kaitannya dengan topik yang akan di bahas oleh penulis.
II. Pertanyaan Penulisan

2.1 Bagaimana Pelaksanaan Politik Luar Negeri dan Diplomasi Indonesia di masa pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004)?


2.2 Apa saja kebijakan-kebijakan politik luar negeri indonesia yang di lakukan oleh pimpinan presiden megawati?

III. PEMBAHASAN
2.1  Pelaksanaan Politik Luar Negeri dan diplomasi Indonesia di masa pimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004).
Sejak bergantinya presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001. Pemerintahan baru dimulai, orde ini disebut orde Reformasi. Pemerintahan baru di bawah Megawati-Hamzah Haz, dihadapkan pada masalah dan persoalan mendasar yang dialami rakyat, akibat krisis berkepanjangan di segala bidang yang belum teratasi pemerintah sebelumnya. Mengingat kompleksitas masalahnya, program kerja yang dilakukan dalam 2001 hingga akhir masa jabatan 2004. Dalam tenggang waktu ini, prioritas utama yang dikerjakan antara lain pemulihan ekonomi rakyat, mengembalikan citra dan kepercayaan pemerintah, serta mencegah disintegrasi bangsa dan memulihkan stabilitas keamanan. Penting dalam upaya memberi arah tepat dan efisien guna pemulihan situasi di segala bidang untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Dalam rangka pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi, Presiden Megawati menunjuk figur Menteri Luar Negeri yang sepenuhnya memfokuskan diri pada tugas-tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, Presiden dapat melimpahkan kewenangan penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri dan Politik Luar Negeri kepada Menteri Luar Negeri yang berperan sebagai konsultan dan koordinator bagi penyelenggaraan segenap aspek hubungan luar negeri.[1]
Pemerintah Megawati memperhatikan dan mempertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Komisi I DPR telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas dalam mempengaruhi dan mengontrol pelaksanaan aktivitas diplomasi Indonesia. Karena itu, pemerintahan baru mengupayakan sebuah "mekanisme kerja" yang lebih solid dengan Komisi I DPR sehingga diharapkan dapat memunculkan a concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga Eksekutif dan Legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggung jawab atas dasar prinsip check and balance.[2]
Dalam pelaksanaan luar negerinya, Megawati secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri. Sebagai presiden, Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York untuk berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia, Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan. Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Diantaranya adalah kontroversi pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow.
Selain berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar negeri Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dihadapkan dan dipengaruhi beragam peristiwa nasional maupun internasional, di antaranya adalah peristiwa serangan teroris 11 September 2001 terhadap World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Inggris, serta operasi militer di Aceh untuk menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan eksternal Indonesia.[3]
Setelah terjadinya penyerangan yang di lakukan oleh aksi terorisme terhadapa WTC di Amerika Serikat, Amerika serikat mengajak dunia untuk memerangi dan mengutuk aksi terorisme sejak terjadinya pengeboman dan penyerangan gedung tertinggi di Amerika Serikat, yaitu World Trade Center (WTC) untuk menjadikan terorisme menjadi musuh utama dunia. Dan indonesia termasuk negara yang merespon dengan cepat ajakan Amerika Serikat untuk memerangi terorisme. Presiden Megawati merupakan kepala pemerintahan pertama yang mengunjungi Amerika Serikat pasca WTC.
Membaiknya hubungan dengan amerika serikat setelah agak surut pada masa presiden Abdurrahman Wahid merupakan momentum bagi pemerintahan presiden megawati untuk memulihkan kondisi eonomi dan investasi dalam negeri. Persetujuan atas kerja sama yang di lakukan Indonesia bersama Amerika Serikat itu dalam memerangi terorisme menghasilkan beberapa komitmen sebagai hasil dari persetujuan tersebut.Beberapa komitmen antara amerika serikat dan indonesia yang berhasil di bangun pasca peristiwa WTC, yaitu antara lain:[4]
a.       Memulihkan pertemuan teratur antara militer Indonesia dan Amerika Serikat untuk mendukung upaya Indonesia melaksanakan reformasi dan profesionalisme militer. Kegiatan yang di rencanakan, antara lain partisipasi Indonesia dalam berbagai konferensi, latihan multilateral, serta pelatihan.
b.      Menyelenggarakan dialog keamanaan secara bilateral di bawah pengawasan menteri pertahanan non-militer (sipil) dari kedua negara untuk mendorong peningkatan masyarakat sipil dalam hal pertahanan dan keamanan di Indonesia.
c.       Meminta kongres Amerika Serikat menganggarkan sejumlah dana untuk mendidik masyarakat sipil di Indonesia tentang masalah-masalah pertahanan melalui program pelatihan dan Pendidikan Militer indonesia yang di perluas (Expanded International Military Education and Training).
d.      Mencabut embargo terhadap penjualan komersial barang-barang pertahanan yang tak mematikan ke Indonesia.
Kesempatan ini tentu saja lahir dari situasi saling membutuhkan antara indonesia dan amerika serikat. Di satu sisi indonesia yang tengah memulihkan ekonomi dan keamanan membutuhkan bantuan kapital. Sementara amerika serikat membutuhkan indonesia untuk menjadi kawan dalam mendukung agenda utamanya, yaitu memerangi terorisme.

Selanjutnya pelaksanaan Diplomasi Indonesia di masa pemerintahannya, bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif pada masa pemerintahan. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang cukup. Dimana di masa pemerintahan ini, Departemen Luar Negeri (Deplu) sebagai ujung tombak diplomasi Indonesia telah melakukan restrukturisasi yang ditujukan untuk mendekatkan faktor internasional dan faktor domestik dalam mengelola diplomasi. Deplu memahami bahwa diplomasi tidak lagi hanya dipahami dalam kerangka memproyeksikan kepentingan nasional Indonesia keluar, tetapi juga kemampuan untuk mengkomunikasikan perkembangan dunia luar ke dalam negeri.[5]

2.2  Kebijakan-kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia yang di lakukan oleh Pimpinan Presiden Megawati.
Keberhasilan pada era Megawati ini adalah dengan gaya kepemimpinan yang memberikan porsi yang lebih luas kepada Departemen Luar Negeri dengan menitik beratkan pada peran utama Menteri Luar Negeri. Departemen Luar Negeri Indonesia melakukan reformasi dan restrukturisasi sebagai respon atas perubahan politik domestik dan tantangan global.
Memasuki masa Megawati, kebijakan luar negeri Indonesia masih melanjutkan usaha-usaha pendahulunya yaitu mencari dukungan dan kerjasama luar negeri. Beberapa  kebijakannya adalah dengan melakukan kerjasama yang menguntungkan dengan negara lain. Berikut ini, antarara lain kebijakan-kebijakan yang dilakukan Presiden Megawati dalam kepemimpinannya.

2.2.1        Kebijakan Pertahanan (Pembelian Pesawat Sukhoi)
Di dalam negeri, muncul kebutuhan untuk memodernisasi peralatan militer untuk memperkuat sistem pertahanan nasional. Namun pada saat itu Indonesia masih menjalani embargo senjata dari AS, sehingga ketika muncul kebutuhan untuk memodernisasi peralatan militer, tidak bisa mengharapkan kerjasama dengan AS. Hal ini memacu Megawati untuk melakukan langkah taktis dengan melakukan kunjungan ke Rusia dan sejumlah negara Eropa Timur untuk keluar dari belitan embargo senjata ini. Kunjungan kenegaraan ini mendapatkan respon positif dari Rusia.
Pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia merupakan buah dari kunjungan Megawati ke Moskow. Proses pembelian keempat pesawat tempur yang kontrak kerjanya ditandatangani pemerintah RI dan Rusia, dipertanyakan sejumlah anggota DPR. Mereka menganggap keputusan pemerintah itu telah menyalahi prosedur. Selain belum dianggarkan di APBN 2003, pembelian Sukhoi terindikasi korupsi dari hasil selisih dolar. Padahal pemerintah RI-Rusia dikabarkan telah sepakat untuk membayar tunai sebanyak 20 persen dari total harga keempat pesawat tempur itu. Adapun sisanya dibayar melalui imbal beli dengan produk minyak mentah sawit (CPO).[6]
Berkenaan dengan hal ini, Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan pihaknya tidak akan mengabaikan prosedur yang berlaku berkaitan dengan pembelian dua pesawat Sukhoi dan dua helikopter tempur Rusia. Menurutnya, pembelian pesawat baru itu dilakukan mengingat sejumlah pesawat tempur yang dimiliki TNI kini sudah menjadi barang rongsokan. Di antara pesawat tempur yang sudah tidak layak itu adalah jenis Hawk yang dibuat pada tahun 1942-1943.[7]
Megawati melakukan kunjungan kenegaraan ke Rusia tanggal 20-23 April 2003 dan menghasilkan deklarasi kerangka kerja hubungan persahabatan dan kemitraan antara Republik Indonesia dan Federasi Rusia pada abad ke-21. Deklarasi tersebut membahas sejumlah kesepakatan seperti kerjasama teknik militer, perbankan, dan teknologi ruang angkasa. Pada saat bersamaan, kedua pihak sedang mempersiapkan berbagai persetujuan bilateral di bidang penggunaan nuklir untuk maksud damai, perikanan, pariwisata, usaha kecil dan menengah (UKM), kesehatan, olah raga, dan pendidikan.
Upaya Megawati ini menghasilkan hubungan kemitraan yang telah diperbaharui antara Indonesia dan Rusia yang menyepakati beberapa hal. Pertama, bidang politik, Indonesia dan Rusia sepakat untuk menjamin stabilitas keamanan dan kemakmuran di kawasan Asia Pasifik, serta akan meningkatkan interaksi politik di antara lembaga dan pejabat kedua negara. Kedua, bidang ekonomi dan perdagangan, kedua negara juga sepakat meningkatkan hubungan ekonomi, perdagangan, penanaman modal, dan teknologi melalui mekanisme komisi bersama. Ketiga, bidang industri militer, Indonesia dan Rusia sepakat meningkatkan kerjasama teknik militer. Dalam masalah keamanan, kedua negara sepakat menyelesaikan masalah internasional dengan mengedepankan aspek legal dan kepentingan bersama semua pihak yang terlembaga melalui forum PBB.[8]

2.2.2        Kebijakan Penyelesaian Hutang Luar Negeri
Pembaharuan yang dilakukan sebagian besar di bidang ekonomi dan politik, sebab pada pemerintahannya, masalah yang dihadapi kebanyakan merupakan warisan pemerintahan Orde Baru yaitu masalah krisis ekonomi dan penegakan hukum. Ada beberapa perubahan yang dilakukan Megawati yaitu :[9]
1. Dalam Bidang Ekonomi
Untuk mengatasi masalah ekonomi yang tidak stabil, ada beberapa kebijakan yang dikeluarkan Megawati yaitu :
a. Untuk mengatasi utang luar negeri sebesar 150,80 milyar US$ yang merupakan warisan Orde baru, dikeluarkan kebijakan yang berupa penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar, sehingga hutang luar negeri dapat berkurang US$ 34,66 milyar. (berkurangnya hutang Indonesia).
b. Untuk mengatasi krisis moneter, Megawati berhasil menaikkan pendapatan per kapita sebesar US$ 930.( pendapatan masyarakat).
c. Kurs mata uang rupiah dapat diturunkan menjadi Rp 8.500,00.
d. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan nilai inflasi, dikeluarkan kebijakan yang berupa privatisasi terhadap BUMN dengan melakukan penjualan saham Indosat sehingga hutang luar negeri dapat berkurang.
e. Memperbaiki kinerja ekspor, sehingga ekspor di Indonesia dapat ditingkatkan.
f. Untuk mengatasi korupsi, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kebijakan megawati dalam mengatasi masalah utang luar negri (pemerintah dan swasta) sebesar US$150,80 M adalah meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$5,8 miliar pada pertemuan paris club ke-3 tanggal 12 april 2002. pada tahun 2003, pemerintah mengakolasikan pembayaran utang luar negri sebesar Rp116,3 triliun. Melalui kebijakannya tersebut utang luar negri indonesia berkurang menjadi US$134.66 miliar.[10] Salah satu keputusan megawati yang sangat penting pula adalah indonesia mengakhiri kerjasamanya dengan IMF.
Krisis ekonomi yang melanda indonesia sejak tahun 1997 mengakibatkan kemerosotan pendapatan perkapita. Pada tahun 1997 pendapatan perkapita indonesia tinggal US$465. melalui kebijakan pemulihan keamanan situasi indonesia menjadi tenang. Presiden megawati berhasil menaikan pendapatan perkapita cukup signifikan yaitu sekitar US$930. Ketenangan megawati disambut oleh pasar, tak sampai sebulan dilantik kurs melonjak ke Rp 8500 per dollar AS. Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga terus membaik hingga melejit ke angka 800.
Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menekan nilai inflasi, presiden megawati menempuh langkah yang sangat kontroversi, yaitu melakukan privatisasi terhadap BUMN. Pemerintah menjual indosat pada tahun 2003. hasil penjualan itu berhasil menaikan pertumbuhan ekonomi indonesia menjadi 4,1% dan inflansi hanya 5,06%. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara didalam periode krisis. Tujuannya adalah melindungi perusahaan negara dari interversi kekuatan-kekuatan politik dan melunasi pembayaran utang luar negri.
Memperbaiki kinerja ekspor. Pada tahun 2002 nilai ekspor mencapai US$57,158 miliar dan import tercatat US$31,229 miliar. Pada tahun 2003 ekspor juga menanjak keangka US$61,02 miliar dan import meningkat keangka US$32,39 miliar.
Kebijakan presiden megawati untuk melakukan pemberantasan korupsi dengan merealisasikan berdirinya komisi pemberantas korusi (KPK). Walaupun  telah didirikan KPK, peringkat RI sebagai negara terkorup tetap memburuk. Pada tahun 2002, dari 102 negara indonesia menduduki peringkat ke-4. pada tahun 2003 indonesia menempati peringkat ke-6 dari 133 negara. Tanpa ada retorika tegas tentang penegakan korupsi.[11]
2.2.3 Kebijakan Lainnya
A. Kebijakan Menghadapi Terorisme
Kebiakan melawan teroris memang menjadi fokus dalam politik luar negeri di masa Presiden Megawati. Indonesia, kemudian aktif menggalang dukungan internasional, terutama di negara-negara kawasan Asia Tenggara, untuk memerangi terorisme. Di dalam negeri pemerintahan Megawati mengeluarkan Perpu tentang Anti Terorisme, kemudian di sahkan menjadi UU Anti-Terorisme. Melalui UU inilah pelaku bom bali dapat di jerat di depan hukum dan di jatuhi hukuman mati. Secara internasional, Indonesia tidak mau hanya menggantungkan dukungan dari Amerika Serikat saja, jika ini dilakukan, pemerintahan Megawati tidak akan popouler di mata rakyat. Sentimen anti Amerika serikat berkembang cukup kuat di Indonesia setelah Amerika menyerang Afganistan dan Irak, dua negara muslim yang memiliki keterkaitan emosional dengan Indonesia. Maka pemerintahan Megawati harus sangat berhati-hati dan bijaksana dalam bekerja sama dengan Amerika Serikat dalam memerangi terorisme.
Untuk itu maka pemerintahan megawati menggalang kerja sama regional, terutama kawasan Asia Tenggara. Peristiwa bom Bali membuat negara-negara tetangga sangat peduli dengan keamanan kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu pemerintah Indonesia membuat kebijakan memerangi terorisme di tingkat regional dan domestik. Di tingkat regional, memprakarsai kerja sama melalui ASEAN, yaitu ASEAN Ministrerial Meeting on Transnational Crime (AMMCT) Deklarasi KTT VII ASEAN tentang Tindakan Bersama Melawan Terorisme, dan Kerja sama Intelijen ASEAN. Di tingkat domestik, pemerintah indonesia mengeluarkan beberapa kebijakan terhadap masalah terorisme, antara lain sebagai berikut:[12]
a. Pemerintah Indonesia telah mempublikasikan, menangkap, dan menjatuhkan hukuman mati pada pelaku peledakan bom Bali.
b. Pemerintah Indonesia menahan puluhan orang yang di duga terkait dengan kelompok Jamaah Islamiyah. (Jamaah Islamiyah di tetapkan oleh PPB sebagai dalah satu organisasi teroris internasional).
c. Pemeritah Indonesia telah menemukan dan menutup tempat-tempat pelatihan yang di sinyalir sebagai tempat pelatihan teroris.
d. Pemerintah Indonesia telah menetapkan dan mengimplementasikan UU Anti-Terorisme.




KESIMPULAN
Dinamika Politik Luar Negri Megawati terhilat cukup sulit, dimana masalah yang dihadapi kebanyakan warisan dari Orde Baru. Sebagai presiden kelima, Megawati dihadapkan dengan persoalan-persoalan yang signifikan antara lain masalah krisis ekonomi dan masalah isu-isu internasional. Pada orde ini yang dikatakan sebagai Orde Reformasi, megawati diharapkan dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri secara teratur.
Masalah di antaranya yaitu dalam hal keamanan terkait dengan pemelian Sukhoi yang sebagian orang melihat hal tersebut sebagai hal yang tidak masuk dalam prosedur. Tetapi Presiden Megawati mempunyai alasan bahwa pembelian Sukhoi tersebut terjadi karena kondisi Pesawat Militer yang Indonesia miliki saat itu sangat memprihatinkan. Selain itu kebijakan dalam pemerintahannya adalah dalam penyelesaian hutang luar negeri, dalam hal ini Presiden Megawati berhasil dalam mengurangi nilai hutang Indonesia kepada luar negeri dengan cara antara lain, dengan menunda pembayaran hutang sebesar USD 5.8 milliar. Dan hal terkait lainnya yang menyangkut kebijakannya yaitu, dalam rangka memerangi terorisme, dengan bekerja sama oleh Amerika Serikat dan membuat UU tentang terorisme.
Jadi, pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi di pemerintah dan kepemimpinan Presiden Megawati mentikberatkan kepada peran Departemen Luar Negeri atau Menteri Luar Negeri sebagai reaksi atau tindakan dalam menanggapi dan melakukan permasalahan isu-isu iternasional yang di hadapi serta sebagai respon atas perubahan politik domestik dan tantangan global.


[1] Undang-undang RI tentang hubungan luar negri (http://www.djpp.depkumham.go.id)
[2] Masalah luar negri (http://www.lontar.ui.ac.id/)

[3] Pribadi, Toto, 2006. Sistem Politik Indonesia, Jakarta : Universitas Terbuka. (halaman : 9.26)
[4]Pribadi, Toto, 2006. Sistem Politik Indonesia, Jakarta : Universitas Terbuka. (halaman : 9.27)
[10] Dikutip dari journal “masa-kepemimpinan-megawati-soekarno. (http://ririn21.blogspot.com/2011/05/masa-kepemimpinan-megawati-soekarno.html)
[11] Dikutip dari journal “masa-kepemimpinan-megawati-soekarno. (http://ririn21.blogspot.com/2011/05/masa-kepemimpinan-megawati-soekarno.html)
[12] Pribadi, Toto, 2006. Sistem Politik Indonesia, Jakarta : Universitas Terbuka. (halaman : 9.26)


Referensi
Pribadi, Toto, 2006. Sistem Politik Indonesia, Jakarta : Universitas Terbuka
http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/politik-luar-negeri-indonesia-pasca-orde-baru/  http://groups.yahoo.com/group/tanahkaro/message/2969


*Disusun dan diajukan sebagai tugas mata kuliah Sistem Politik Indonesia

Ratu Victoria "United Kingdom"


Ratu Inggris terkenal, Victoria dilahirkan tahun 1819 di kota London. Pada usia yang masih sangat muda, yaitu 18 tahun, Victoria sudah menjadi penguasa kerajaan Inggris, menggantikan pamannya, Raja Wiliam IV, yang meninggal dunia.

Ratu Victoria memerintah selama 63 tahun sehingga merupakan masa pemerintahan terlama dalam sejarah Inggris. Victoria berhasil mempertahankan keberadaan sistem monarkhi di Inggris dan menjadikannya sebagai institusi politik seremonial. Pada masa pemerintahannya itulah, aksi represi terhadap rakyat di kawasan-kawasan koloni Inggris meningkat secara signifikan.

Pada tahun 1839, sepupu Victoria, Albert, seorang pangeran dari Jerman, datang ke Inggris dan lima hari kemudian, ia dilamar oleh Ratu Victoria. Pangeran Albert menerimanya dan mereka menikah pada bulan Februari tahun 1840. Pasangan ini memiliki sembilan anak, di antaranya Raja Edward VII. Victoria, meninggal dunia pada usia 82 tahun . Setelah kematian Victoria, kekuasaan Imperium Inggris di bawah kepemimpinan Raja Edward VII.
Dalam catatan sejarah Ratu Victoria menduduki urutan pertama wanita paling berpengaruh dalam sejarah. Dia digambarkan sebagai wanita bertangan besi, yang memiliki pengaruh luar biasa, bukan hanya terbatas pada kerajaannya tapi juga dia memimpin kolonialisme Inggris di seluruh dunia sehingga Inggris menjadi Inggris Raya dengan daerah jajahan yg terbanyak di dunia pada abad ke 19.

Sumber : Rakyatmerdeka.co.id

PENDEKATAN TRADISIONAL MENEKANKAN PADA SEJARAH DIPLOMASI DAN INSTITUSI

PENDAHULUAN
Hubungan Internasional menjadi suatu ilmu yang sangat penting sejak awal Perang Dunia 1 pada tahun 1914-1918. Hubungan antar negara sangat penting dirasakan pada masa ini, mengingat terjadinya perang membuat negara-negara dunia untuk selalu dapat menjalin kerjasama dan menjaga perdamaian.
Muncullah pada abad 20 suatu bidang studi yang terorganisasi dan dimasukkan dalam kurikulum beberapa universitas di Amerika Serikat, yaitu bidang studi Hubungan Internasional. Kurikulum ini berdiri sendiri karena ingin memahami sebab-sebab terjadinya konflik akibat yang timbulkan dan untuk membentuk keadaan dunia yang lebih aman dan damai.
Menurut ilmu sejarah, tulisan mengenai HI dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu yang ditulis sebelum Perang Dunia I dan yang ditulis setelahnya. Golongan pertama disebut warisan klasik dalam HI dan mencakup berbagai studi tentang teori politik, hukum, sejarah, dan diplomasi. Golongan yang kedua adalah karya-karya yang dihasilkan melalui pengajaran dan penelitian setelah HI menjadi kajian di universitas setelah tahun 1918.  Perkembangan HI sebagai studi akademis melewati tiga tahapan, yaitu tahap tradisional, behavioural, dan post-behavioural.
Banyak terjadi perdebatan sejak hubungan internasional menjadi subjek akademik pada Perang Dunia I antara perdebatan Liberalisme[1] melawan Rasionalisme[2]. Perdebatan  ini terjadi antara rentang waktu 1920-1940an.  Perdebatan yang kedua terjadi antara pendekatan Tradisional dan Behaviouralisme. Terjadi pada era 1960-an dimana kaum tradisionalis yang menggunakan metode holistik dengan kaum behavioralis yang mengedepankan penerapan metode ilmiah dalam menjelaskan fenomena hubungan internasional.

PENDEKATAN TRADISIONAL
Tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis, dan hasil penelitiannya bersifat subjektif. Pendekatan Tradisionalisme berasumsi bahwa fakta dan kebenaran terdapat di dalam diri manusia sendiri, dan tradisionalisme merupakan metodologi yang bersifat normatif-historis, legal-formal, filosofis.
Pendekatan tradisional merupakan pendekatan holistik yang menerima kompleksitas dunia manusia, melihat hubungan internasional sebagai bagian dari dunia manusia, dan berupaya memahaminya dengan cara-cara kemanusiaan. Pendekatan tradisional tidak memiliki metodologi eksplisit. Pendekatan ini juga tidak membuat kerangka hipotesis dan pengujiannya, tidak menjalankan alat-alat observasi yang formal, tidak mengumpulkan dan mengorganisasikan data.[3]
Pendekatan tradisional ini lebih beroreantasi pada manusia itu sendiri karena pada dasarnya Hubungan Internasional ini merupakan hubungan antar negara, antar bangsa, serta antar aktor. Tentunya aktor yang berperan dalam dunia ini adalah interaksi manusia secara global. Memahaminya dan mempelajarinya pun dengan cara-cara kemanusiaan yang dilihat dari sifat dan tindakan manusia itu sendiri, tanpa adanya kerangka observasi ilmiah sama sekali. Pendekatan klasik mengabaikan penelitian metodologi kuantitatif bagi Hubungan Internasional. Pendekatan klasik ini justru lebih melihat pada teori-teori yang dibatasi pada sejarah (waktu) dan budaya (tempat).
Dalam pendekatan klasik ini, pandangan mengenai teori dibatasi oleh ruang dan waktu. Pendekatan klasik memiliki beberapa asumsi, yaitu: (1) jika kita membatasi diri dengan standar-standar verifikasi dan kuantifikasi yang ketat, maka hanya sedikit hal penting yang dapat dikatakan mengenai hubungan internasional, (2) pengetahuan mengenai hubungan internasional harus berasal dari proses ilmiah yang tidak sempurna, yang melibatkan persepsi dan intuisi, dan (3) generalisasi mengenai HI harus selalu bersifat tentatif.[4]
Pendekatan klasik menganggap bahwa pandangan yang memperkuat studi ini merupakan masalah pengalaman dalam praktek atau keahlian keilmuan, yaitu seperti mengamati, membaca, meneliti, memikirkan dan menulis tentang hubungan internasional.
Menurut Charles A. McClelland, seseorang yang belajar Ilmu Hubungan Internasional harus punya dasar pengetahuan yang kuat tentang sejarah berbagai negara. Diperlukan pengalaman langsung dengan menetap atau meneliti di negara-negara yang dipelajari.[5]
Paham Tradisionalis ini menekankan pada sejarah yang kuat. Bahwasannya seseorang harus menegtahui sejarah atau latar belakang suatu negara untuk dapat mengetahui dan mempelajarinya bedasarkan pengalaman langsung dan tindakan-tindakan langsung dari aktor tersebut.
Bagi Hans J. Morgenthau, Henry Kissinger atau Hedley Bull, renungan atas pengalaman pribadi langsung dan studi sejarah merupakan jalan terbaik ke arah pengetahuan tentang hubungan internasional.[6]
Morgenthau pun demikian erat kaitannya dengan sejarah. Karena dengan sejarah seseorang dapat memahi lebih dalam apa yang terjadi di masa lampau dan mungkin akan menjadi dampak di masa kini.
Bagi Hedley Bull, aktivitas penelitian tersebut pada dasarnya mencangkup suatu pemikiran topik penting yang diselidiki melalui beberapa kesimpulan, meskipun baru permulaan. Bull berhadapan dengan topik-topik besar seperti keamanan internasional, ketertiban internasional, keadilan internasional. Menurutnya seseorang dapat menghadapi hanya dan juga dengan topik-topik kecil. Tetapi yang paling penting dalam menjalankan penelitian bukan metodologi ilmiah. Ialah pengetahuan tentang subtansi dan khususnya pengetahuan historis.[7]
Para teoritisi tradisionalis berpendapat bahwa hampir semua hal tentang hubungan internasional telah diketahui dan dipahami oleh generasi teoritisi yang terdahulu. Karena itu penting mengungkapkan kembali pengetahuan ini kepada setiap generasi baru dan menerapkannya ke fakta dan situasi masa kini. Pengetahuan tentang hubungan internasional harus diperoleh melalui pengalaman praktis dan studi masa lalu.
Menurut Bull (1969), Hubungan Internasional bukan merupakan disiplin tunggal, melainkan interdisipliner dan berdasar pada tiga disiplin yang telah mapan yaitu sejarah, teori politik dan filsafat dan hukum internasional.[8]
Para teoritisi diatas berpendapat bahwa sejarah merupakan hal yang terpenting karena merupakan satu-satunya cara akademik untuk menguasai karakteristik suatu negara, karena semua negara memiliki karakterisktik yang berbeda-beda. Tidak ada dua negara yang sama sekalipun mungkin mereka memiliki sebagian karakteristik yang penting. Disebabkan negara memiliki sejarah yang berbeda dan beralokasi pada tempat-tempat tertentu.
Bahasan tradisional dalam pendekatan ini menyangkut antara lain sifat undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan, dan kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti parlemen dan lain-lain. Dengan kata lain, pendekatan ini mencakup unsur legal maupun institusional.
Setidaknya, ada lima karakteristik atau kajian utama pendekatan ini, yakni:[9]
§  Legalisme (legalism), yang mengkaji aspek hukum, yaitu peranan pemerintah pusat dalam mengatur hukum.
§  Strukturalisme, yakni berfokus pada perangkat kelembagaan utama atau menekankan pentingnya keberadaan struktur dan struktur itu pun dapat menentukan perilakuseseorang.
§  Holistik (holism) yang menekankan pada kajian sistem yang menyeluruh atau holistik alih-alih dalam memeriksa lembaga yang "bersifat" individu seperti legislatif.
§  Sejarah atau historicism yang menekankan pada analisisnya dalam aspek sejarah seperti kehidupan sosial-ekonomi dan kebudayaan.
§  Analisis normatif atau normative analysis yang menekankan analisisnya dalam aspek yang normatif sehingga akan terfokus pada penciptaan good government.

KESIMPULAN

Pendekatan tradisional lebih mengusulkan kepada metode observasi dan sudut pandang pengalaman praktis dan studi masa lalu. Pendekatan ini lebih menekankan pada sejarah dan diplomasi. Dilihat dari bagaimana suatu aktor berinteraksi dengan antar bangsa dan negara internasional. Maka sifat diplomasinya sangat tinggi dikarenakan peranannya lebih kepada interaksi antar aktor. Penelitiannya pun dilihat dari sifat-sifat maupun tindakan aktor tersebut. Tidak ada kajian ilmiah dalam faham ini. Justru hanya melihat pada pendekatan negara dan aktor negara tersebut.
Pendekatan ini menekankan pada sejarah negara yang ingin ditelitinya. Karena menurut para teoritisi sejarah merupakan hal terpenting dalam memahami suatu negara. Berkenaan dengan ini dengan melihat sejarah maka akan mengetahui karakteristik negara tersebut. Karena setiap negara memiliki karakteristik tersendiri berbeda dengan negara lainnya. Disebabkan perbedaan tempat atau wilayah serta budaya di masing-masing negara.
Berbeda halnya dengan kaum behavioralis yang meyakini akan kemampuan prediksi atau analisis kemungkinan dalam mempelajari hubungan antar manusia melalui ukuran-ukuran yang tepat. Pendekatan ini mengedepankan pada metode dan metodologi saja. Bisa dikatakan pendekatan ini memakai sikap dan metode ilmiah. Metodologi yang dipakai misalnya pengukuran, klasifikasi, generalisasi, dan akhirnya pengesahan hipotesis, yaitu, pola perilaku yang dijelaskan secara ilmiah.
Kaum behavioralis menganggap bahwa kaum tradisionalis mengabaikan perumusan dan pengujian hipotesis. Di sini jelas bahwa ilmuwan behavioralis mengarahkan kegiatan observasi mereka terhadap sebanyak mungkin kasus demi mencari pola berulang. Namun, banyak kaum tradisionalis yang meragukan pandangan kaum behavioralis dalam melakukan metode ilmiah ini, karena menurut mereka fenomena-fenomena hubungan internasional terlalu kompleks dan tidak semuanya bisa direpresentasikan dalam bentuk variabel-variabel. Dan akhirnya Kedua pendekatan tradisionalisme dan behavioralisme ini akhirnya sama-sama digunakan dalam studi HI.

SUMBER REFERENSI

Buku Referensi:
Mas’oed, Mohtar. 1994. Ilmu Hubungan Internasional disiplin dan metodologi. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia
Jackson, R., &. Sorensen, G. (1999) Introduction to International Relations,Oxford University Press.
Steans, Jill & Lloyd Pettiford. 2009. Hubungan Internasional Perspektif dan
Tema. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Akses internet :
Journal http://web.unair.ac.id diakses 8/11/12  pukul 21:55 WIB.
diakses 8/11/12 pukul 20:30 WIB.
http://wikipedia.org diakses 17/11/12 pukul 11:20 WIB.



[1] Menurut Jill Steans, asumsi-asumsi dasar liberalisme antara lain meyakini bahwa manusia adalah makhluk rasional, menempatkan kebebasan individu di atas segalanya, berpandangan positif terhadap karakteristik manusia, yakin terhadap kemajuan, dan menentang pembagian antara wilayah domestik dan internasional.  Paham ini diperkenalkan oleh Woodrow Wilson 1919.
[2] Menurut Jackson dan Sorensen, ide dan asumsi dasar kaum realis adalah: Pandangan pesimis atas sifat dasar manusia; Keyakinan bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; Menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan hidup negara
[5] Dalam buku Mohtar Mas’oed hal 63. Didasarkan pada tulisan Charles A. McClelland, “International Relations:Wisdom or Science?”
[6] Dalam J.N.Rosenau (Ed.), International Politics and Foreign Policy (Free Press 1969) buku disiplin dan metodologi hal 65.
[7] Dalam pengantar studi hubungan internasional hal 289.
[8] Pengantar studi hubungan internasional.

*Disusun dan diajukan sebagai tugas mata kuliah Metodologi Hubungan Internasional
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...