Laman

 photo tabfashion.png photo tabtumblr.png photo tabtutorial.png
 photo tabtutorial.png

PENDEKATAN NEOKLASIK


1.      MUNCULNYA ALIRAN NEOKLASIK

Aliran Neoklasik secara sederhana dibedakan atas dua generasi, yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi pertama banyak memperbaiki teori-teori ekonomi klasik, tetapi umumnya mereka masih percaya bahwa dipasar berlaku prinsip pasar persaingan sempurna dan bahwa perekonomian selalu menuju pada keseimbangan. Sedangkan kelompok generasi kedua, memiliki pandangan tersendiri tentang pasar. Mereka umumnya menolak pandangan prinsip pasar persaingan sempurna yang dikembangkan oleh Adam Smith, sebab dalam kehidupan nyata mereka menyaksikan banyak asumsi-asumsi kaum klasik yang terlanggar karena banyak factor yang menyebabkan pasar tidak beroperasi sempurna.
                                                                                   
a.    Neoklasik Generasi Pertama
Kelompok ekonomi Neoklasik generasi pertama bisa dibedakan lagi  atas dua kelompok, yaitu:
1)    Kelompok ekonomi Austria (The Classical Liberal Perspectives)
2)    Kelompok ekonomi Cambridge ( The Modern Liberal Perspective)
Kelompok pertama disebut kelompok Ekonomi Austria karena hampir semua pendukungnya seperti Carl Manger, Friedlich von Wieser, dan Eugen von Bohm Bawer berasal dari Austria. Pakar-pakar Neoklasik yang tergabung dalam kelompok ekonomi Austria ini sangat berjasa mengembangkan teknik-teknik matematika, terutama kalkulus. Dari tangan merekalah lahir konsep-konsep marginal utility, marginal revenue, the law of diminishing return, dan sebagainya yang sarat dengan hitungan-hitungan matematis. Sejak munculnya teori “marginal revolution” yang dikembangkan oleh pakar-pakar Neoklasik dari mazhab Austria tersebut, pembahasan ekonomi lebih bersifat mikro. Karena ilmu ekonomi ditangan pakar-pakar Neoklasik mengalami perkembangan yang pesat melebihi perkembangan legislasi, hal ini memeksa diceraikannya politik dari ilmu yang semula disebut ekonomi politik. Lebih tepat, oleh pakar-pakar ekonomi Neoklasik istilah “political” dihilangkan dari “political economy”, dan yang tinggal hanya “ilmu ekonomi” ( “economics”) sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri.



Ilmu ekonomi mengalami perkembangan yang sangat pesat ditangan pakar-pakar Neoklasik generasi pertama dari Austria ini, dan dari segi analisis juga terdapat perbedaan yang sangat tajam antara aliran ekonimi Liberal Klasik dengan aliran Neoklasik. Kalau ekonomi Liberal Klasik banyak menggunakan istilah-istilah normatif seperti nilai, kesejahteraan dan utilitas berdasarkan asumsi berlakunya hukum alami, pakar-pakar ekonomi Neoklasik menjadikan ekonomi sebagai “ilmu murni” yang sarat dengan perhitugan-perhitungan matematika dan “ilmu positif”, yang menghindari value judgements, public advocacy, dan faktor-faktor nonekonomi lainnya dalam analisis.
Adapun kelompok kedua digolongkan didalam Ekonomi Cambridge karena para pendirinya seperti Alfred Marshall dan kebanyakan pendukungnya kebanyakan berasal dari university of Cambridge.
Walaupun Marshall memiliki peran besar dalam perkembangan ilmu ekonomi, pendekatan yang digunakan Marshall sedikit berbeda dari pendekatan pakar-pakar ekonomi lain. Perbedaan yang mencolok antara Marshall dengan ekonomi-ekonomi lain dari mazhab Austria yang pada umumnya “tegar” ialah Marshall lebih memperhatikan nasib kaum papa. Bagi Marshall, ilmu ekonomi politik adalah sarana untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan bahkan juga sebagai motor untuk mengungkap kebenaran (an engine for the discovery of truth) dengan mengatasi kemiskinan dan kemelaratan.
b.    Neoklasik Generasi Kedua
Pada tahun 30-an, muncul pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua, di antaranya Piero Srafa, Joan Violet Robinson, dan Edward Chamberlin. Kalau pakar-pakar ekonomi Klasik mengansumsikan pasar persaingan sempurna, pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua justru mengansumsikan pasar persaingan tidak sempurna, bisa berbentuk kompetisi monopoli, oligopoly, atau monopoli. Ketidaksempunaan pasar timbul karena asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna seperti banyak pembeli dan penjual, produk homogen, perusahaan bebas keluar masuk pasar, informasi sempurna, dan sebagainya terlanggar. Kalau ada asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna yang terlanggar, berarti pasar tidak lagi beroperasi dalam pasar persaingan sempurna, melainkan dalam pasar persaingan tidak sempurna.



Perbedaan dalam cara pandang tentang pasar inilah yang membedakan ekonomi Neoklasik dengan ekonomi Klasik. Dalam model pasar persaingan sempurna, jumlah pembeli dan penjual banyak, dan masing-masing pelaku ekonomi, baik konsumen maupun produsen atau perusahaan tidak mempunyai daya untuk mempengaruhi harga-harga yang terbentuk dipasar. Namun, dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual terbesr. Apalagi dalam pasar monopoli, hanya terdapat satu perusahaan yang menguasai seluruk permintaan konsumen. Makin sedikit jumlah perusahaan, makin tinggi kapasitas untuk memeperoleh keuntungan ekonomi dengan mempengaruhi harga-harga dan output dipasar.
Apa implikasi dari kenyataan bahwa pasar tidak berperilaku sesuai asumsi pasar persaingan sempurna tersebut ? Bagi pemikir-pemikir Neoklasik, hal ini membuka peluang bagi tindakan politik, dimana pemerinta perlu ikut campur “mengoreksi” ketidaksempurnaan yang terjadi dipasar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa walaupun pakar-pakar ekonomi Neokalasik menganggap perlunya campur tangan pemerintah, pada awalnya mereka tidak membahas tentang peran redistribusi, kemiskinan, kesenjangan sosial, pendidikan, kesehatan, atau isu-isu tentang lingkungan, melainkan hanya berupaya untuk membawa perekonomian kearah ideal seperti yang mungkin dicapai dalam kondisi pasar yang berfungsi sempurna. Tegasnya campur tangan pemerintah hanya dalam proses dan keputusan politik untuk memperbaiki pasar.
Jadi, walau banyak faktor yang menyebabkan pasar tidak bsa menjalankan fungsinya dengan sempurna, para pemikir Neoklasik lebih banyak membahas persoalan eksternalitas, barang public, dan pasar persaingan tidak sempurna secara umum. Soal perlunya campur tangan untuk mengatasi masalah-masalah sosial lain seperti pemberantasan kemiskinan, redistribusi pendapatan, mengatasi kesenjangan sosial, memajukan pendidikan, serta memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat dan sejenisnya sama sekali tidak dibahas.
Untuk menghadapi masalah eksternalitas, proses politik dapat digunakan dalam mengoreksi defisiensi pasar dengan mengupayakan agar biaya-biaya dan penerimaan privat (privat cost and revenues) mendekati biaya-biaya dan penerimaan sosial (social cost and revenues). Cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah, antara lain melarang aktivitas yang menimbulkan eksternalitas itu sendiri, atau menetapkan pajak (untuk aktivitas yang menimbulkan eksternalitas negatif).
Begitu juga untuk menghadapi masalah barang publik, yaitu barang yang sekali diproduksi tidak bisa dibatasi pengonsumsiannya pada seseorang atas sekelompok orang tertentu (seperti jalan, mercusuar), pemerintah terpaksa mengambil alih pengadaannya sebab pihak swasta tidak tertarik untuk memproduksinya karena orang cenderung bertindak sebagain “pembonceng” (free-rider).
Tujuan utama perusahaan adalah laba maksimum. Makin besar keuntungan perusahaan untuk mempengaruhi harga-harga dan output, makin tinggi laba ekonomi yang dicapai. Perusahaan akan menggunakan berbagai macam cara untuk memperoleh laba, seperti  berupaya memonopoli sumber bahan mentah strategis ; menguasai teknologi (produksi, desain, pemasaran), atau menguasai sumber modal dan financial untuk kelompok sendiri.
c.    Focus perhatian

Focus perhatian perspektif ekonomi politik Neoklasik lebih ditekankan pada perilaku para penyelenggara negara (state actors) dan aktor dari kalangan masyarakat (society actors) baik dalam proses pengambilan keputusan kebijaksanaan public, maupun implementasi kebijaksanaan itu sendiri. Menurut Grindle (1989), teori-teori ekonomi politik Neoklasik dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1.    Pendekatan Terpusat ke Masyarakat
Model analisis ini terpusat ke masyarakat yang lebih focus pada penggunaan pasar-pasar politik oleh agen-agen ekonomi.salah satu diantaranya yang paling popular adalah model masyarakat pemburu rente (rent seeking society model). Yang menjadi basis ataupun objek utama analisis adalah individu pribadi. Individu diasumsikan sebagai makhluk rasional yang berusaha memaksimumkan berbagai sumber daya guna menghimpun kekayaan.
Konsekuensi dari model ini ialah bahwa sulit membatasi individu memanfaatkan interaksi ekonomi untuk mencapai kepentingan pribadi, bahkan sulit juga membatasi individu memanfaatkan pemerintah guna meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi mereka.
Dalam model ini, politik dilihat sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Bisa dilakukan melalui pemberian suara pada pemilu maupun berbagai lobi untuk mencapai tujuannya tersebut. Tetapi, konsep lobi oleh kelompok kepentingan tidak mungkin diperoleh melalui mekanisme pasar. Konsekuensinya, makin banyak lobi dilakukan, makin tinggi campur tangan pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Melalui model ini, sumber-sumber ekonomi hanya dimiliki dan dinikmati oleh pelaku-pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan. Karena, kepentingan ekonomi dan kepentingan politik telah menyatu dalam format kolusi ekonomi, di mana kekuasaan menjadi medium yang subur sebagai alat “bagi-bagi rejeki” oleh segelintir orang.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam model masyarakat pemburu rente karakteristik utama kehidupan politik adalah persaingan antar kelompok kepentingan untuk mendapatkan akses terhadap perolehan keuntungan dan sumber daya yang dikuasai dan dialokasikan oleh pemerintah.
  1. Pendekatan Terpusat ke Negara

Pendekatan terpusat ke negara dilandaskan pada asumsi bahwa negara punya agenda sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat.dalam analisi ekonomi politik Neoklasik, ekonomi tidak beroperasi secara bebas dalam ruang hampa, tetapi ada keseimbangan antara pasar dan negara, dimana negara ikut menetukan bagaimana ekonomi beroperasi. Artinya, dalam perspektif ini, negara berperan lebih aktif.
            Negara punya kemampuan untuk mengejar dan menentukan agenda yang tidak ditentukan oleh kepentingan privat. Ini yang disebut otonomi negara, yaitu adanya kemampuan negara untuk bertindak bebas dan tidak ditentukan atau dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
            Konsep otonomi negara berarti bahwa negara bisa bertindak independent dengan tidak ditentukan atau dipengaruhi unsur lain. Sehubung dengan otonomi negara ini, terdapat tiga pandangan yaitu:
a.    Bahwa negara berhasil menghadapi tekanan dari masyarakat dan mentranslasikan keinginan sendiri ke dalam kebijakan public.
  1. Bahwa tindalan negara tidak didikte atau dikontrol oleh kelompok manapun.
  2. Bahwa negara memiliki kapasitas untuk menolak tekanan dari pihak luar.

Dalam pendekatan ini, focus perhatian dititikberatkan pada mekanisme penyelenggaraan negara. Adapun yang menjadi objek analisis adalah para politikus, birokrat, dan negara itu sendiri. Sesuai objek tersebut maka ada tiga jenis model analisis, yaitu:
a.    Power Seeking Politicians
Perlu dijelaskan bahwa semua konsep tentang kekuasaan ada hubungannya dengan tujuan dan kepentingan.Jika kepentingan bisa dilihat secara jelas oleh agen (artinya si agen atau politikus tadi secara sadar menegejar kepentingannya),maka ia disebut keinginan (wants),kesukaan atau preferensi (preference) atau tujuan (interest).
Selain dalam neara,kekuasaan juga bisa muncul dalam perusahaan,di antara perusahaan,dalam rumah tangga,di sekolah atau dalam kelompok-kelompok keagamaan.Bedanya,penggunaan kekuasaan oleh selain Negara adalah untuk mengejar kepentingan privat,sedangkan penggunaan kekuasaan oleh Negara adalah untuk kepentingan public.Penggunaan kekuasaan oleh selain Negara tidak mesti (secara langsung) melibatkan perjuangan politik atas instrument-instrumen dalam institusi-institusi kekuasaan (pemerintah).
Penggunaan kekuasaan untuk mencapai yang diinginkan,mungkin ada resistensi atau perlawanan,baik dari alam,orang-orang atau dai institusi-institusi social.Bahkan secara psikologis mungkin juga ada resistensi dari diri sendiri.Elemen resistensi ini sangat penting dalam mendefinisikan kekuasaan.Dalam economy dan society (1978),Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai: “The Probability that an actor in a social relationship will be in a position to carry out his own will despite resistance,regardless of the basis on which this probability rests”.Bagaimanapun,seorang politikus bisa saja memanipulasi kekuasaan untuk menyingkirkan resistensi atau perlawanan dari pihak lain.
Kekuasaan bisa diinterprestasikan sebagai kemampuan untuk memperoleh keinginan.Untuk memperoleh keinginan,harus dilakukan sesuatu untuk mempengaruhi,dan dengan demikian juga,mengubah keadaan.Rayuan (persuation) dan bujukan (inducement) juga dapat dikualifikasikan sebagai kekuasaan.
Menurut Caporaso dan Levine (1993),ada tiga jenis kekuasaan,yaitu kekuasaan untuk menjamin pencapaian hasil atas alam melalui pengembangan energy fisik atau teknologi canggih agar lebih cepat/efisien dalam mencapai tujuan;kekuasaan atas orang lain,yang bisa dilakukan dengan menaikan insentif (membujuk) atau dengan mengancam;kekuasaan bersama-sama dengan orang lain.
Orang sering tidak berhasil mencapai keinginannya jika ia bekerja secara sendiri-sendiri.Untuk itu ia mungkin perlu melakukan kerja sama atau kolaborasi dengan pihak lain.Kolaborasi mungkin sifatnya sementara atau bisa dilembagakan.Tanpa kehadiran institusi bisa menyebabkan terhalangnya pencapaian tujuan.Dalam hal ini kemampuan untuk membentuk institusi yang lebih berdaya untuk mencapai apa yang diinginkan inilah yang tergolong ke dalam komponen kekuasaan dengan orang yang lainnya.
Dalam model analisis Power Seeking Politicians,diasumsikan bahwa para politikus adalah makhluk rasional yang memperhitungkan laba rugi dalam setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya.Kepentingan utama para politikus pada umumnya adalah untuk mempertahankan,dan kalau dapat meningkatkan kekuasaan yang ada di tangannya.Untuk memperoleh kekuasaan,biasanya para politikus menggunakan sumber daya milik pemerintah yang ada dalam kekuasaannya untuk “dihadiahkan” kepada para pendukungnya,dan menghukum mereka yang mengganggu dan menginginkan ia turun dari kursi kekuasaannya.
Maka politikus pada umumnya kurang reaktif terhadap tekanan kelompok kepentingan dan sebaliknya lebih aktif berusaha memaksimumkan kesempatannya untuk tetap memegang kekuasaan dengan menggabung koalisi-koalisi pendukung dan menggunakan sumber daya milik public untuk “membeli” dukungan.
b.    Rent Seeking Bureaucrats
Model terpusat ke Negara berikutnya adalah model birokrat pemburu rente (Rent Seeking Bureucrates),yang focus perhatiannya adalah perilaku para birokrat dalam kapasitasnya sebagai perangkat pelaksana administrasi Negara.Seperti yang sudah disinggung waktu menjelaskan teori perilaku birokrat,para birokrat adalah manusia biasa yang memiliki emosi dan tata nilai serta mempunyai seperangkat tujuan pribadi yang tidak selamanya sesuai dengan tujuan birokrasi (organisasi).Ini berarti bahwa campur tangan pemerintah tidak selamanya didorong untuk melayani kepentingan public,tetapi di sana sini bisa saja diarahkan untuk kepentingan individu,perusahaan atau golongan tertentu.
Menurut Bates (1994),jika institusi politik relative otonom dari ekonomi,mereka cenderung akan menciptakan insentif bagi diri mereka sendiri.Ini menjelaskan mengapa politikus yang rasional lebih menyukai kebijakan-kebijakan yang mendistorsi pasar.Jika pemerintah mampu menggeser harga-harga menjauh dari posisi harga keseimbangan,maka aka nada kesenjangan antara permintaan dengan penawaran,dan dalam situasi seperti ini pejabat yang mempunyai wewenang mengontrol pasar bisa “bermain” untuk memperoleh kepentingannya sendiri.
Selain untuk mengejar kepentingan pribadi,campur tangan pemerintah di pasar juga dapat digunakan untuk menciptakan kemampuan untuk membentuk jaringan patron-klien atau menciptakan apa yang disebut “political machine”.Lewat control pasar,pejabat pemerintah dapat mengorganisir kelompok-kelompok pendukung fanatic yang memiliki komoditas-komoditas berharga yang sekarang menjadi langka karena kebijakan pemerintah.Inilah sebabnya mengapa politikus lebih memilih strategi intervensi pasar ketimbang memilih strategi pasar bebas.Walau masyarakat lebih sejahtera dalam pasar bebas,tetapi potensi ini terhalang karena tidak banyak tuntutan politik agar pemerintah enyah dari pasar.
Dalam ekonomi politik neoklasik,individu-individu termasuk politikus diasumsikan rasional.Melalui asumsi ini,kita juga bisa menjelaskan mengapa politikus tidak mendukung strategi ekonomi pasar bebas.Permasalahanya,kebanyakan politikus yang rasional cenderung enggan menghadapi resiko.Apalagi karena gaji mereka pada umumnya rendah maka mereka lebih menyukai adanya “penghasilan sampingan” yang lebih pasti dari pasar yang diregulasi dibandingkan penghasilan yang mungkin lebih besar namun kurang pasti jika pasar dideregulasi.Jadi,walaupun para pejabat itu menyadari bahwa kondisi mereka akan lebih baik di bawah sistem pasar bebas,tetapi rasionalitas jangka pendek mereka akan mendorong untuk tidak memaksa pemerintah keluar dari pasar.Karena pasar bebas adalah semacam barang-barang public,tiap politikus yang rasional lebih memilih sebagai pembonceng gratis dan membiarkan orang lain yang menanggung biaya-biaya tindakan politisi,sementara ia sendiri tetap bisa menikmati keuntungan ekonomi jangka pendek untuk diri sendiri (Bates,1994).
Secara umum,bentuk kepentingan pribadi birokrat adalah akumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek,walau dalam banyak kasus birokrat juga berkepentingan mempertahankan dan meningkatkan jabatan,atau tujuan-tujuan lainnya.Birokrat akan memanfaatkan sumber daya (berupa kebijaksanaan) untuk memkasimumkan kepentingan pribadi baik dengan “menjual” kebijaksanaan tersebut pada penawar dengan harga tertinggi,atau menagalokasikan sumber daya tersebut pada pihak-pihak yang disukainya.Jadi,apa yang kita kenal dengan istilah KKN (Korupsi kolusi dan Nepotisme) dapat dipahami sebagai hasil dari pasar nonekonomi yang berfungsi lewat alokasi sumber daya birokratis.
Model birokrat pemburu rente ini sudah biasa diterapkan oleh para birokrat dalam berbagai kebijakan public di tanah air.Di tingkat pusat,penggunaan model birokrat pemburu rente ini sangat menonjol digunakan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan soeharto.Orang banyak yang bingung apakah berbagai kebijakan yang dilakukannya bersifat politis atau dilatabelakangi oleh motif untuk mengeruk keuntungan pribadi,anak dan keluarganya.
c.    Predatory State
Varian ketiga dari pendekatan terpusat ke Negara adalah model analisis Negara pemangsa (predatory state).Yang menjadi focus perhatian dalam analisis pendekatan Negara pemangsa ini adalah Negara itu sendiri.Jelasnya,dalam model analisis ini Negara dianggap sebagai actor rasional yang berusaha memaksimumkan penerimaan jangka pendek.
Dalam upaya memaksimumkan penerimaan Negara jangka pendek,Negara akan mencari bentuk-bentuk kebijaksanaan perpajakan yang akan meningkatkan penerimaan Negara.Selain itu,Negara juga dapat mengenakan bea ekspor-impor,mendevaluasi nilai tukar uang dalam negeri,bahkan juga mempertahankan birokrasi yang tidak efisien.Pendeknya,segala macam cara akan dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Negara dalam jangka pendek,walau hal ini dapat merugikan pembangunan ekonomi secara keseluruhan dalam jangka panjang.Seperti yang diungkapkan oleh Killick (1988),Negara predator yang bertindak rasional untuk mempertahankan kekuasaannya mau menjalankan strategi-strategi pembangunan yang secara ekonomi sebetulnya adalah tidak rasional.
  1. RUJUKNYA KEMBALI EKONOMI DENGAN POLITIK
Di dalam pendekatan neoklasik, pakar- pakar ekonomi politik menganggap bahwa ekonomi sebagai suatu sistem yang terpisah dari politik. Meskipun begitu mereka percaya pada realitas dan fenomena kolektif. Perspektif ekonomi politik neoklasik justru lebih menekankan pada peran pemerintah untuk mengoreksi berbagai kegagalan pasar. Sedangkan, peran politik negara dalam ekonomi politik Neoklasik justru diperlukan untuk mengantisipasi penggunaan kekuasaan yang terlalu besar di tangan perusahaan terutama dalam pasar monopoli, maupun penggunaan kekuasaan oleh aparat dan birokrat dalam menjalankan pemerintahan.
Campur tangan pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan beberapa masalah yang tidak bisa diatasi oleh pasar. Akan tetapi, kenyataannya campur tangan pemerintah ini justru menimbulkan persoalan baru sebab, dalam melakukan aktivitasnya, para penyelenggara negara ternyata punya kepentingan masing – masing. Hal ini terlihat bahwa dalam menjalankan tugasnya, para penyelenggara negara melakukan hitung – hitungan untung rugi. Jika sebelumnya pakar ekonomi Neoklasik generasi pertama  berhasil mengembangkan kalkulus untuk memaksimumkan kesejahteraan pelaku ekonomi, maka pakar ekonomi politik Neoklasik justru menyaksikan penerapan “kalkulus” dalam politik.
Ternyata, cerai dan rujuknya ilmu ekonomi dengan ilmu politik ada kaitannya dengan kalkulus. Dalam literatur perkembangan pemikiran – pemikiran ekonomi, kemajuan ilmu ekonomi tersebut, justru berkat bantuan kalkulus yang telah membuat ilmu ekonomi dan politik bercerai, dan memunculkan ilmu ekonomi sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Sebaliknya, dalam literatur ekonomi politik , “penerapan” kalkulus dalam politik justru membuktikan bahwa ilmu ekonomi dan ilmu politik kembali bersatu.


 *Digunakan sebagai catatan mata Kuliah Ekonomi Politik

PEMIKIRAN KARL MARX - TEORI PERJUANGAN KELAS

Karl Marx merupakan salah satu tokoh filsafat barat modern yang berpengaruh. Pemikiran filosofinya digunakan sebagai ideologi di beberapa negara Eropa, Asia, Afrika, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Karl Marx, pelopor utama gagasan sosialisme ilmiah ini dilahirkan tahun 1818 di kota Trier Jerman, ayahnya seorang ahl hukum. Karl Marx menempuh kuliahnya di Universitas Bonn dengan mengikuti jejak ayahnya yakni untuk menjadi seorang ahli dibidang hukum. Kemudian dia pindah ke universitas Berlin dan kemudian dapat gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari universitas Jena.
Hasil pemikiran Karl Marx tidak terlepas dari situasi yang terjadi abad 18 dan 19 yaitu perkembangan industri sebagai dampak dari revolusi industri yang diawali di Inggris. Marx melihat ada kejanggalan masyarakat yang dijumpainya karena muncul ketidakadilan dan manusia terasing dari dirinya sendiri. Keterasingan ini sebagai dampak dari hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Hak milik atas alat-alat produksi telah menjadikan perbedaan kelas antara kelas atas dan kelas bawah. Bentuk stuktur dan hubungan yang terjadi dalam bidang ekonomi ini dicerminkan dalan struktur kekuasaan dibidang sosial politik dan ideologi.
Munculnya kelas-kelas sosial dan hak milik atas alat-alat produksi disebabkan karena usaha manusia untuk mengamankan dan memperbaiki. Usaha ini dilakukan dengan pembagian kerja yang semakin spesialis. Masyarakat terbagi menjadi 2 yakni kelas penguasa dan pekerja. Pembagian  yang semakin spesialis inilah yang akhirnya membuat perbedaan tajam antara hidup seseorang yang berada dikelas penguasa dan kelas bawah. Oleh karena itu Marx didalam bukunya “The communist manifesto” berusaha mengubah paham kapitalis menjadi komunis. Namun hal itu tidak semudah merubah keadaan yang pada awalnya menganut paham kapitalis menjadi sebuah keadaan tanpa hak atas milik pribadi.
Karl Marx bukanlah ilmuan politik pertama yang melakukan kajian intensif tentang konsep kelas-kelas sosial. Bertahun-tahun sebelum mereka sejarawan borjuasi telah melakukan kajian tentang konsep itu. Mereka mempelajarinya dalam konteks anatomi perjuangan kelas dan tahap-tahap perkembangan kapitalisme dalam masyarakat industri di Eropa, diantara yang terkemuka adalah Robert Owen. Owen mendalami konsep kelas-kelas sosial dan perjuangan kelas dan menjadikannya sebagai tema sentral berbagai penelitian sosialnya. Itu diakui oleh Marx sendiri. Marx mengatakan bahwa ia tidak memiliki kelebihan apapun dengan keberhasilannya menemukan konsep-konsep tentang kelas sosial dan pertarungan antarkelas dalam masyarakat modern.

Di Barat, pemikiran Marx berkembang menjadi suatu aliran baru yang dinamakan ’New Left’ (kiri baru). Para penganutnya adalah kaum intelektual yang bergerak aktif di kampus-kampus terkemuka Eropa dan Amerika. Dalam tulisan ini
penulis mencoba menguraikan beberapa segi penting teori perjuangan kelas Marx seperti yang ditulis mereka dalam beberapa karyanya, di antaranya, The Manifesto of Communist Party dan The Eighteen Brumaire of Bonaparte.

MANIFESTO OF COMMUNIST PARTY

Konsep perjuangan kelas Marx dapat dengan mudah ditelusuri dalam karyanya, ditulis bersama Engels,
"Manifesto Partai Komunis". Untuk waktu yang cukup lama tulisan Marx dan Engels ini memperoleh popularitas luar biasa sejak pertama kali diterbitkan. Bagi kaum Marxis fanatik, tulisan ini telah manjadi kitab suci disamping karya Marx yang lain, The Capital.

Pemikiran perjuangan kelas Marx dan Engels pada halaman pertama buku itu. Rumusannya sederhana:

”sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala sesrikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, berada pada selalu posisi yang bertentangan satu asm lainnya, dan berlangsung tanpa terputus.”

Dari kalimat itu tersirat beberapa pemikiran penting Marx dan Engels. Pertama, bahwa gagasan sentral dan yang ada dibalik pernyataan itu ad
alah fakta bahwa sejarah umat manusia diwarnai oleh perjuangan atau pertarungan diantara kelompok-kelompok manusia. Dan dalam bentuknya yang transparan, perjuangan itu berbentuk perjuangan kelas. Menurut Marx bersifat permanen dan merupakan bagian inheren dalam kehidupan sosial.

Kedua, pernyataan ini juga mengandung preposisi bahwa dalam sejarah perkembangan masyarakat selalu terdapat polarisasi. Suatu kelas selalu berada dalam posisi bertentangan dengan kelas-kelas lainnya. Dan kelas yang saling bertentangan ialah kaum penindas dan kaum yang tertindas. Marx berpendapat bahwa dalam proses perkembangannya, masyarakat akan mengalami perpecahan dan kemudian akan terbentuk dua blok kelas yang saling bertarung, kelas borjuasi kapitalis dan kelas proletariat.

Hubungan eksploitatif antara kedua kelas itu menurut Marx akan menciptakan antagonisme kelas yang pada akhirnya akan melahirkan krisis revolusioner. Bila situasi sudah demikian, maka kelas pekerja melalui proses sosial tertentu akan menjadi kelas yang revolusioner. Mereka menjadi kelas yang menghendaki perubahan struktural, mengambil alih kekuasaan dengan paksa dan melakukan perubahan struktur sosial secara revolusioner.

Marx berharap kelas pekerja menjadi kelas penguasa bila berhasil merebut kekuasaan dari kaum borjuasi kapitalis dan memusatkan semua alat-alat produksi di tangan kelas pekerja. Akhir kaum pekerja menentang kelas kapitalis adal
ah terciptanya masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas, menurut Marx, ditandai oleh lenyapnya perbedaan-perbedaan kelas dan produksi dikuasai oleh bangsa serta kekuasaan negara akan kehilangan karakter politiknya. Maksudnya, sistem kekuasaan itu tidak lagi bersifat opresif dan menindas masyarakat.
Pemikiran Karl Marx mengenai teori perjuangan kelas dalam buku nya Manifesto of The Communist Party menjadikan para sejarawan Marxis dan non-Marxis mengakui beberapa pemikiran Marx di dalam buku itu. Di antaranya yaitu:
1. Keberadaan kelas tak terpisahkan dari fase sejarah tertentu dari perkembangan   produksi kapitalis.
2. Bahwa perjuangan kelas jelas mengarah pada diktator kaum proletariat.
3. Bahwa kediktatoran itu sendiri hanyalah transisi menuju penghapusan seluruh kelas-kelas sosial dan pada akhirnya menuju pada terbentuknya masyarakat tanpa kelas.

THE EIGHTEEN BRUMAIRE OF LOUIS BONAPARTE

Marx menulis The Eighteen Brumaire Of Louis Bonaparte sendiri tanpa Engels. Meskipun diakuinya secara tidak langsung sangat mempengaruhi gagasan-gagasan yang terdapat dalam buku itu. Berbeda dengan Manifesto dimana Marx tidak melakukan pengujian atas teori perjuangan kelas, dalam The Eighteen Brumaire Of Louis Bonaparte Marx justru melakukan pengujian teoritis secara sungguh-sungguh. Ia mencoba menilai sejauh mana teorinya mengenai perjuangan kelas dan revolusi proletariat cocok dengan realitas historis spesifik, yaitu kasus kudeta N
apoleon III. Dari kegagalan kudeta Napoleon III itu Marx memiliki kesempatan untuk melakukan pengujian teori pejuangan kelasnya, melihat apakah teorinya tentang konflik permanen antara borjuasi dan proletariat terjadi sesuai dengan apa yang di teorikannya serta melakukan penilaian terhadap hasil penelitian ilmuan lainnya seperti Proudhon dan Victor Hugo.
Engels menjelaskan motivasi yang membuat Marx tertarik melakukan kajian itu. Menurutnya, Perancis adalah suatu negara lebih dari negara manapun di dunia ini yang mengalami perjuangan historis yang sangat menentukan bagi kelangsungan keberadaan kelas proletarian. Di negara inilah perjuangan hidup dan mati kaum proletar melawan borjuasi kapitalis dalam bentuknya yang paling akut, ironis dan tragis, suatu bentuk pertarungan sejarah yang tidak terjadi di negara manapun. Penting diketahui bahwa kasus kegagalan kudeta Napoleon III ini juga telah di kaji oleh Victor Hugo dan Proudhon. Tetapi Marx tidak setuju dengan kajian mereka. Menurutnya, Hugo menyajikan peristiwa bersejarah itu sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan individu, jadi peristiwa itu terjadi karena peranan tunggal seorang tokoh sejarah, hal ini mengisyaratkan bahwa sejarah di tentukan oleh orang-orang besar. Hal inilah yang membuat Marx menolak pendekatan teoritis Hugo dan menyatakan bahwa proses sejarah seperti perjuangan kelas, kudeta, dan revolusi sosial.


MENGAPA REVOLUSI ITU GAGAL?

Suatu revolusi sudah pasti memliki aktor-aktornya. Dalam revolusi 1848-1851 yang menjadi pelaku utama adalah kaum borjuasi. Mereka terdiri dari kaum aristrokasi pemilik modal, borjuasi industrial, kelas menengah, angkatan bersenjata, lumpen proletariat, kaum cendekiawan, kaum agama, dan penduduk pedesaan. Mereka berhadapan dengan kaum proletariat terdiri dari para petani, para pekerja kota Paris, dan sejumlah pemimpin sosialis. Inilah kelas-kelas sosial yang menurut Marx merupakan aktor utama revolusi Bonaparte.

Revolusi itu digambarkan melalui tiga fase berikut. Pertama, fase yang berlangsung dari 24 Februari-4 Mei 1848 ketika pemerintahan provinsial Louis Philip maupun monarkinya ditumbangkan melalui gerakan pemberontakan. Fase ini merupakan prolog revolusi Bonaparte III. Fase kedua, dari Mei 1848 sampai Mei 1849 ketika terjadinya pertemuan kaum konservatif, reaksioner, dan monarkis dalam suatu sidang konstituante, letupan sosial dalam bentuk pertemuan terjadi Juni 1848 ketika dewan itu bertarung melawan pemerintahan provinsial sosialis dan terjadinya pemberontakan kaum proletar dengan para anggota dewan. Fase ketiga, dimulai ketika Lois Bonaparte terpilih sebagai penguasa Prancis Desember 1848 yang kemudian diikuti oleh berakhirnya Dewan konstituante.

Dalam revolusi berdarah itu kaum proletar dikalahkan. Pemberontakan mereka terhadap kekuasaan rezim despotik lama di bulan Juni 1848 mengakibatkan tiga ribu rakyat dibantai secara kejam dan setelah revolusi tidak kurang dari lima belas ribu lainya dibuang tanpa melalui proses pengadilan. Menurut Marx dengan kekalahan ini suatu tahap revolusioner perjuangan proletar surut kebelakang. Kegagalan kelas proletariat menurut Marx disebabkan orang-orang Prancis tidak bisa melepaskan dirinya dari belenggu mimpi buruk yang menakutkan warisan revolusi Perancis 1789.

Kegagalan itu juga karena para pemimpin gerakan proletariat tidak mengetahui bagaimana cara mengeksploitasi situasi-situasi genting sejak Februari sampai Mei 1848 untuk kepentingan gerakan revolusioner. Mereka juga tidak paham apa sebenarnya keinginan dan aspirasi mereka sendiri, apakah yang dicita-citakan itu sebuah revolusi sosial ataukah bentuk pemerintahan yang yang konstitusional. Ketidakjelasan cita-cita dan ketidakmengertian mereka itu membuat arah perjuangan mereka tak terarah. Faktor kepemimpinan gerakan juga merupakan penyebab kegagalan lain revolusi proletar itu. Pada saat-saat genting ternyata tidak terdapat pemimpin yang memimpin gerakan melawan kaum borjuasi. Keadaaan ini diperparah oleh ketidakpahaman massa akan prinsip-prinsip dinamika revolusi dan aksi-aksi revolusioner serta terbatasnya jumlah massa rakyat yang terlibat dalam gerakan revolusi. Dengan kata lain, revolusi proletar itu bukanlah meminjam istilah revolusi massa.

MATERIALISME SEJARAH

Menurut Marx sejarah umat manusia sejak zaman primitif dibentuk oleh faktor-faktor kebendaaan. Awal sejarah manusia dimulai dengan adanya pemilikan pribadi yang kemudian menimbulkan pertarungan memperebutkan materi atau kekayaan ekonomi. Materi atau bendalah yang menjadi faktor konstitutif proses sosial politik historis kemanusiaan. Marx menyangkal argumen Hegel maupun Weber yang melihat faktor non-bendawi, roh, dan gagasan berpengaruh dan menentukan sejarah. Inilah paham materialisme sejarah Marx.

Untuk memahami materialisme sejarah, kita juga perlu memahami bagaimana paham materialisme Marx. Materialisme adalah faham serba benda. Bertitik tolak dari asumsi itu, Marx meyakini bahwa tahap-tahap perkembangan sejarah ditentukan oleh keberadaan material. Bentuk dan kekuatan produksi meterial tidak saja menentukan proses perkembangan dan hubungan-hubungan sosial manusia, serta formasi politik, tetapi juga pembagian kelas-kelas sosial. Marx berpendapat bahwa hubungan-hubungan sosial sangat erat kaitannya dengan kekuatan-kekuatan produksi baru manusia akan mengubah bentuk-bentuk atau cara produksi mereka.

Jadi, materi baik dalam bentuk modal kekuatan-kekuatan maupun alat-alat produksi merupakan basis sedangkan kehidupan sosial, politik, filsafat, agama, seni, dan negara merupakan suprastruktur.

NEGARA, ALAT PENINDASAN?

Mengapa Marx begitu skeptis terhadap negara? Ada beberapa alasan Marx menilai terjadinya eksploitasi kelas borjuis kapitalis terhadap kelas proletar antara lain karena eksistensi negara. Negara ternyata dijadikan alat penindasan itu. Bagi kelas borjuis, negara digunakan semata-mata untuk memperkuat status-quo dan hegemoni ekonomi dan politik mereka. Kelas proletar, karena tidak menguasai alat dan mode produksi, yang merupakan sumber kekuasaan itu, tidak memiliki akses sedikit pun terhadap negara. Mereka tidak merasa memiliki negara dan terealisasi dari lembaga politik itu. Negara, dengan demikian, bagi Marx ibarat ’monster’ menakutkan.

AGAMA: CANDU RAKYAT DAN ALAT PENINDASAN?

’Agama adalah candu untuk rakyat’ ini merupakan kata-kata Marx ketika ia mengemukakan pandanganya tentang agama. Kata-kata itu merupakan kritiknya terhadap agama. Istilah ’candu’ menunjukan sinisme dan antipati Marx yang akut terhadap agama. Candu mengalihkan perhatian rakyat dari kenyataan sejarah dan melarikan diri dari padanya. Tuhan yang diajarkan agama menjadi tempat pelarian manusia, padahal semua persoalan kehidupan manusia harus bertitik tolak dari manusia dan kembali kepada manusia sendiri. Jadi, Tuhan bukan manusia yang menjadi pusat kehidupan. Menurut Marx agama tidak menjadikan manusia menjadi dirinya sendiri, melainkan menjadi sesuatu yang berada di luar dirinya. Inilah yang menyebabkan manusia dengan agama itu menjadi mahluk yang terasing dari dirinya sendiri. Agama adalah sumber keterasingan manusia.

KESIMPULAN
Karl Marx merupakan salah satu tokoh tentang teori perjuangan kelas atas kaum borjuis dengan kaum proletariat. Hal ini disebabkan karena adanya penindasan yang cukup lama dalam segi ekonomi oleh kaum borjuis yang kapitalis sehingga menguasi alat-alat produksi dan menjadikan kaum proletariat hanya sebagai buruh atau kaum yang di tindas sebagai pekeja untuk keberhasilan kaum borjuis. Teori perjuangan kelasnya di tuangkan dalam beberapa buku di antaranya manifesto of the communist party yang menjelaskan tentang bagaimana teori perjuangan kelas antara kaum proletariat terhadap kaum borjuis. Dan buku yang kedua yaitu The Eighteen Brumaire Of Louis Bonaparte yang di dalam nya berisika tentang pengujian teori perjuangan kelas.
Dalam teori perjuangan kelas nya konsep-konsep yang mendukung antara lain materialisme sejarah, negara, dan agama yang masing-masing konsep tersebut di jadikan sebagai alasan dan bukti teori perjuangan kelas.

Daftar Pustaka
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta. Gramedia.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...