PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini,
batas-batas wilayah tidak lagi menjadi hambatan yang berarti. Sistem
internasional pun akhirnya mengalami integrasi. begitu juga dengan aktor
internasional, tidak lagi dimonopoli oleh beberapa negara seperti pada era
perang dingin. Dengan demikian, peta politik dunia berubah menjadi sistem yang
multipolar dari sistem bipolar. Banyaknya jumlah negara yang berinteraksi di
dunia internasional membuat fokus perhatian para politisi dan ilmuwan tidak
lagi terpusat pada masalah tradisional (aspek militer). Isu-isu yang menjadi
perhatian semakin kompleks. Salah satu isu yang diangkat sebagai isu keamanan
internasional adalah ancaman bioterorisme oleh ISIS.
Mengapa Ebola dianggap sebagai isu keamanan
internasional? Ebola merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan.
Dilaporkan terjadi 284 kasus, setengah di antaranya membuat korban sekarat.
Gejala dari Ebola hemorrhagic fever (EHV) biasanya dimulai empat hingga 15 hari
sesudah seseorang terinfeksi. Rata-rata gejala yang dialami berupa sakit
seperti flu, demam tinggi, dan nyeri. Tingkat penyebarannya pun sangat tinggi,
Penyebaran virus Ebola terbesar di dunia menyebabkan 2.800 orang tewas, dan
sebagian besar di Guinea, Liberia dan Sierra Leone menurut data WHO.
Penyebaran virus ebola semakin meluas orang pertama
di Amerika Serikat yang diketahui menderita ebola meninggal. Penyebaran di
Eropa juga mulai terjadi. Ebola hemorrhagic fever merupakan penyakit infeksi
tropis yang berat. Cara penularannya melalui kontak fisik langsung antarmanusia
ataupun lewat cairan penderita. Yang terjangkit harus segera diisolasi. Angka
kematian pun tinggi. Dari 100 pasien, 90 meninggal. Saat ini ebola menghantui
negara-negara Afrika Barat, seperti Guinea, Sierra Leone, dan Liberia.
Diperkirakan 3.000 orang tewas akibat virus tersebut, kebanyakan karena
pelayanan kesehatan yang buruk. Langkah Malaysia memberi imbauan kepada
rakyatnya mereka berjaga di setiap pintu gerbang. Pemeriksaan penumpang
diberlakukan di semua titik masuk utama di Malaysia. Mereka telah menetapkan
status waspada terhadap virus ini. Para penumpang dari negara yang terinfeksi
ebola, yang menunjukkan nyeri otot dan demam, akan langsung dikarantina. Di
Indonesia belum melakukan tindakan pencegahan serius. Sejauh ini pemerintah
hanya melakukan sosialisasi.
Para politisi internasional berpendapat bahwa Ebola
akan menjadi masalah jangka panjang yang dapat mengganggu stabilitas sosial,
ekonomi, dan politik di masa depan. Oleh karena itulah, Dewan Keamanan PBB
meminta seluruh pemerintah diseluruh dunia untuk menjadikan pandemik Ebola ini
sebagai prioritas politik karena berkaitan dengan National Security sebuah
bangsa. Dengan demikian, politik tidak hanya berkaitan dengan perang dan damai,
tetapi juga politik berhubungan dengan penanganan masalah kesejahteraan dan
kesehatan manusia.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang masalah diatas maka dapat ditarik menjadi sebuah
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
• Apa yang dimaksud biopolitik ? dan Kenapa
muncul bioterorisme ?
• Kapan senjata biologis mulai
dipergunakan sebagai instrument ancaman ?
• Bagaimana sikap Amerika dalam
mengatasi Ebola dan apa motif dibalik sikap tersebut ?
PEMBAHASAN
Masalah
etika semakin menjadi persoalan yang tidak sederhana menjelang abad modern
setelah ditemukannya dan berkembangnya psikiatri, psikologi, psikopatologi,
psikoanalisis, kedokteran, klinik, penghukuman dan penjara. Semenjak
berkembangnya permasalahan ini, etika tidak lagi menjadi wilayah dominasi
perbincangan para filsuf. Para dokter, psikolog, ahli biologi, ahli kesehatan
dan ahli ekonomi pun memperbincangkan masalah ini. Disinilah mulai
berkembangnya sebuah cabang dari etika yang biasa orang sebut bioethics.
Permasalahan
mengenai bio-etika saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Terutama
pada masyarakat Eropa. Salah satu faktor yang membentuk masyarakat Barat
seperti saat ini, banyak berhubungan dengan persoalan bio-etika. Sejak zaman
pasca renaisans, kekuasaan berusaha masuk ke wilayah bio-etika untuk mengontrol
pembentukan masyarakat Barat. Pembersihan, pengontrolan, praktek-praktek
klinis, regulasi, normalisasi, penjara dan segala bentuk pendisiplinan
diterapkan dalam masyarakat Eropa. Kekuasaan pun mulai berkerja sama dengan
ilmu pengetahuan untuk mengerjakan proyek kontelasi sosial. Selubung kekuasaan
atas bio-etika ini bertujuan membentuk docile body.
Selubung
kekuasaan inilah yang berusaha dibongkar oleh filsuf sejarah sistem pemikiran
manusia asal Perancis, Michel Foucault. Dalam studinya Foucault menelusuri
tema-tema yang tidak pernah dijamah oleh para filsuf sebelumnya. Tema-tema
mengenai kegilaan, penyakit mental, penghukuman, pendisiplinan, penjara, klinis
dan seks menjadi bahan-bahan untuk melihat strategi kekuasaan dalam wilayah
bio-etika. Penelusuran Foucault atas arkelogi dan juga genealogi[i]
bio-etika ini penting untuk melihat betapa berkuasanya kekuasaan menormalisasi
tubuh manusia.
Penerapan
strategi kekuasaan dalam mengontrol tubuh paling nyata terhadap apa yang
dimaksud Foucault sebagai bio power. Bio power adalah teknologi
yang dikembangkan seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu kemanusiaan (Adian,
2002). Dalam konsep ini Foucault bermaksud menyatakan sebuah situasi ketika
biologi dan kesehatan dipikirkan di dalam politik (Haryatmoko, 2002). Bio
power cenderung menormalisasi dan lebih memilih norma daripada sistem hukum
yang berlaku. Berarti cara kerjanya tidak melalui represi melainkan dengan
teknik normalisasi. Tujuan diterapkannya mekanisme bio power adalah
untuk menata, mengawasi, mendisiplinkan, kontrol atas penduduk. Sebagai contoh
: penerapan demografi, KB (keluarga berencana), kontrol kesehatan, asuransi
kesehatan, jaminan sosial, sterilisasi masyarakat.
Wacana
bio power semakin mengemuka akibat terjadinya kepanikan terhadap ledakan
penduduk di belahan Eropa. Selain disibukkan dengan pembangunan ekonomi, kelas
menengah Eropa amat takut terhadap populasi yang tidak terkontrol ini. Kelas
menengah Eropa semakin membutuhkan semacam penanggulangan terhadap permasalahan
populasi ini. Tumbuh kesadaran untuk menggabungkan manajemen perkawinan dan
kematian dalam konteks demografi. Kontrol atas seksualitas inilah salah satu
penerapan utama dari strategi bio power ini.
Apabila
kita sinkronisasikan kontrol seksual dengan cita-cita utopis masyarakat borjuis
Eropa kita akan menemukan jawabannya. Masyarakat borjuis Eropa menginginkan
lingkungan dan tubuh yang steril pada setiap individu. Agar kelangsungan
kehidupan mereka tetap terproteksi dari berbagai macam jenis penyakit, tetap
sehat dan produktif dalam bekerja. Rekayasa sosial ini juga berupaya untuk
mengontrol banyaknya kelahiran yang bukannya berguna malahan membuat kerepotan
di masyarakat. Masyarakat borjuis Eropa abad 18-19 lebih mementingkan tubuh
yang berguna, sehat, kuat, aktif daripada populasi yang banyak. Inilah
superioritas kelas menengah Eropa dalam membentuk peradaban Eropa modern.
Bioterorisme
adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan sabotase atau
penyerangan dengan bahan-bahan biologis atau racun biologis dengan tujuan untuk
menimbulkan kerusakan pada perorangan atau kelompok perorangan.
Aktifitas-aktifitas ini, secara umum, menyebabkan kerusakan, intimidasi, atau
kohersi, dan biasanya berhubungan dengan ancaman yang menyebabkan kepanikan
publik. Agen biologis yang paling umum digunakan sebagai senjata teror adalah
mikroorganisme dan racun-racunya, yang dapat digunakan untuk menimbulkan
penyakit atau kematian pada populasi penduduk, binatang, bahkan tanaman. Agen
pencemaran dapat dilepaskan di udara, air, atau makanan. Ada banyak definisi
mengenai bioterorisme, namun secara substansial akan sama dengan definisi
diatas.
Senjata
Biologis
Konvensi
pertama untuk melarang penggunaan senjata biologis ditandatangani di Jenewa
pada tahun 1925. Di tahun 1972, dibawah kepemimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB), 103 negara menandatangani konvensi mengenai senjata biologis, yang
isinya melarang pengembangan, produksi, penumpukan, dan penggunaan senjata
biologis. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk melenyapkan secara sepenuhnya
kemungkinan dari penggunaan agen biologis dan racunya sebagai senjata pemusnah
masal.
Pada
konferensi mengenai bioterorisme di San Diego, Kalifornia pada awal tahun 2000,
para pakar menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak siap untuk menghadapi
serangan senjata biologis dengan patogen seperti cacar, antrax, Ebola,
botulinum, dan lainnya. Pada simposium nasional kedua mengenai bioterorisme di
Washington DC di tahun 2000, salah satu dari kesimpulan yang diambil ialah
bahwa sistem kesehatan masyarakan Amerika Serikat sama sekali tidak siap untuk
menghadapi serangan yang menggunakan senjata biologis. Pada hal lain, di Maret
2001, peneliti pada pusat studi bioterorisme di Universitas St. Louis menemukan
fakta bahwa 75 persen dari aparat kesehatan masyarakat mencemaskan bahwa
beberapa kota di Amerika Serikat akan mendapatkan serangan senjata biologis
dalam waktu 5 tahun. Ramalan para ilmuwan ini terbukti benar, sebab pada
Oktober 2001, hanya 4 bulan setelah pertemuan itu, Amerika Serikat mendapat
serangan Antrax.
Bioterorisme
adalah masalah besar sepanjang sejarah manusia. Salah satu laporan awal
mengenai bioterorisme di abad ke 6 sebelum masehi, ketika tentara Asiria
meracuni sumur air dari musuhnya dengan ergot, suatu fungi yang memproduksi
racun yang sering ditemukan pada rogge (sebangsa gandum). Laporan yang lebih
moderen menunjukkan, pada sekitar tahun 1520, Francisco Pizarro, seorang
Jendral Spanyol yang memimpin penaklukan kerajaan Inca di Peru, memberikan
pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang Inca. Laporan yang serupa
menuduh Inggris kemungkinan juga menggunakan patogen untuk menghancurkan musuh
mereka sewaktu proses penjajahan Amerika Utara. Negara itu kemungkinan
mendistribusikan selimut yang mengandung kuman cacar kepada orang Indian.
Berikut ini dibawah akan dijabarkan penggunaan senjata biologis di jaman modern
ini.
Bioterorisme
di Perang Dunia II
Apa
yang kurang diketahui adalah senjata biologis yang digunakan di front eropa
timur pada perang dunia II. Dalam bukunya, Biohazard, Ken Alibek, yang pernah
menjabat sebagai wakil ketua pengembangan senjata biologis Uni Soviet tahun
1988-1991, menjabarkan pengalamannya dan riset yang tertera dalam arsip-arsip
Soviet. Menurut hasil penemuannya, Uni Soviet telah menggunakan kuman yang
mengakibatkan penyakit tularemia pada unit Wehrmacht (Angkatan Bersenjata
Jerman) sewaktu pertempuran Stalingrad tahun 1942. Gejala dari penyakit ini
adalah sakit kepala, mual, dan demam tinggi, yang dapat menyebabkan kematian
bila tidak dirawat. Walaupun senjata biologis ini menyebabkan Jerman mengalami
kerugian sangat banyak, namun penyakit ini juga menular kepada penduduk sipil
dan pada tentara soviet sendiri. Kasus ini menjelaskan ternyata senjata
biologis menjadi bumerang untuk pihak Soviet.
Di
lain pihak, Jerman juga mengembangkan senjata biologis. Namun fungsinya hanya
terbatas untuk sabotase ekonomi dan pertanian. Jerman tidak pernah serius
mengembangkan patogen yang menyerang manusia, namun mengembangkan patogen untuk
menghancurkan pertanian dan peternakan musuh-musuhnya. Berdasarkan informasi
dari Gestapo (polisi rahasia jerman), ternyata justru Uni Soviet mengembangkan
senjata biologis secara lebih serius. Soviet memiliki 8 fasilitas instalasi
senjata biologis di negara mereka untuk menguji kuman antrax dan penyakit
kaki-mulut. Gestapo juga melaporkan bahwa Inggris menguji kuman Antrax,
disentri, dan glander. Akhirnya Gestapo justru mendapat informasi bahwa Amerika
Serikat mengembangkan senjata biologis di Arsenal Edgewood (Maryland) dan Pine
Bluff (Arkansas).
Walaupun
Nazi Jerman memiliki berbagai laporan intelejen yang komprehensif, Adolf Hitler
justru menolak setiap usul dari bawahannya untuk mengembangkan senjata biologis
secara serius dan terencana. Justru Hitler mengarahkan riset Jerman kepada
usaha defensif untuk menahan serangan senajata biologis dari pihak sekutu.
Namun, dalam skala yang terbatas, Nazi melakukan percobaan senjata biologis
pada tahanan di kamp konsentrasi mereka di Aushwich, Polandia. Tahanan
dipaparkan dengan kuman Rickettsia prowazekii, Rickettsia mooseri, virus
hepatitis A, dan Plasmodia spp. Namun berbeda dengan percobaan yang dilakukan
Jepang, yang akan dijelaskan dibawah, percobaan pihak Nazi lebih terbatas untuk
mengembangkan vaksin saja. Mayoritas tahanan di Aushwich tewas karena senjata
kimia (Mereka dipaparkan DDT dan gas CO), bukan karena senjata biologis.
Percobaan
Unit 731, Aushwich di Asia
Kasus
lain mengenai bioterorisme skala besar, yang jarang sekali diungkap oleh para
ilmuwan, adalah kasus bioterorisme oleh unit 731 di Manchuria, China bagian
utara. Unit 731 adalah salah satu organ dari tentara kekaisaran Jepang yang
dibentuk untuk melapangkan jalan bagi Jepang untuk menjajah China. Unit ini
dibentuk sewaktu Jepang menyerbu China pada tahun 1937. Alasan invasi Jepang ke
China, menurut versi sejarawan Jepang adalah “Untuk membebaskan rakyat China
dari tipu daya Amerika dan Inggris”. Unit 731 dibentuk dengan disamarkan
sebagai fasilitas pemurnian air. Ia dibangun di kota Pingfan, dekat Harbin, di
China timur laut. Diperkirakan ada sekitar 3000 warga China, Korea, dan sekutu
yang meninggal dalam eksperimen unit 731. Direktur unit 731 adalah Shiro Ishi,
seorang dokter yang ahli bakteriologi. Ishi dan timnya, tanpa mempertimbangkan
masalah etika dan moral, mengembangkan senjata demi kepentingan Jepang. Ishi
memberikan para tawanan perang China, Korea, Inggris dan Amerika Serikat dengan
kuman patogen seperti antrax, tanpa rasa kasihan sedikitpun.
Secara
sistematis, Ishi dan timnya menjadikan para tawanan perang sebagai kelinci
percobaan mereka. Para tawanan itu dipasung di atas tiang, lalu dipaparkan
dengan kuman patogen. Kemudian Ishi dan teamnya dari tempat yang aman, mencatat
seberapa lama lagi mereka akan meninggal. Eksperimen ini menyebakan tingkat
kematian tawanan sekitar 70 persen. Bahkan dalam beberapa kasus bisa mencapai
100 persen. Korban pihak China akibat aksi bioterorisme unit 731 sangat sukar untuk
diperkirakan.
Unit
731 memaparkan sungai, sumur, dan cadangan air pihak China dengan kuman kolera,
disentri, tiphus, dan antrax. Menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu pada tahun
1945 mengakhiri aksi bioterorisme unit 731 dan program pengembangan senjata
biologis Jepang untuk selama-lamanya. Akibat dari aksi bioterorisme ini sangat
mengerikan karena bahkan jauh setelah perang selesai, pihak China masih
menderita banyak kerugian akibat serangan senjata biologis ini. Shiro Ishi
ingin menggunakan senjata biologis ini pada perang pasifik di tahun 1944.
Namun
perencanaan yang buruk dan sabotase sekutu menggagalkan rencana ini. Beberapa
waktu sebelum Jepang menyerah kalah, laboratorium Unit 731 dihancurkan oleh
Tentara Jepang. Pihak Amerika Serikat memberikan amnesti kepada para ilmuwan
yang terlibat di Unit 731, namun mereka harus memberikan semua data eksperimen
mereka kepada pihak Amerika. Menurut sumber resmi pemerintah Amerika Serikat,
data-data eksperimen ini sangat berharga dan sukar ditakar nilainya, sebab
Amerika sendiri saat itu belum pernah melakukan eksperimen serupa pada manusia
hidup. Unit 731 ini memiliki proyek spesial yang menggunakan manusia sebagai
bahan eksperimen.
Dan
baru – baru ini ISIS sebagai kelompok militan yang sangat ingin menghancurkan
barat menebar ancaman melalui media yaitu dengan bio crime dan menggunakan
Ebola sebagai bio weapon. Seperti tajuk berikut :
“Kelompok
teroris ISIS mungkin tengah mempertimbangkan penggunaan virus ebola
sebagai senjata biologi bunuh diri untuk melawan Barat, kata seorang pakar
militer. Virus tersebut ditularkan melalui kontak langsung dengan orang yang
terinfeksi. Seorang pakar militer mengatakan, tidak akan sulit bagi kaum
fanatik itu untuk terpapar virus tersebut dan kemudian melakukan perjalanan ke
negara-negara di mana mereka ingin menularkan malapetaka itu. Kapten
Purnawirawan Al Shimkus, seorang Guru Besar Bidang Keamanan Nasional di US
Naval War College, mengatakan, strategi itu sangat masuk akal. Dia mengatakan
kepada majalah Forbes, "Individu yang terkena virus ebola
akan menjadi pembawa (penular). Dalam konteks kegiatan teroris, tidak butuh
banyak kecanggihan untuk maju ke langkah berikutnya dengan menjadikan manusia
sebagai pembawa. "Profesor Anthony Glees, direktur Pusat Studi Intelijen
dan Keamanan Universitas Buckingham, setuju bahwa strategi itu mungkin
dipertimbangkan. Dia mengtakan, "Dalam sejumlah hal, itu merupakan teori
yang masuk akal. Kaum Militan ISIS percaya pada aksi bunuh diri dan itu
merupakan sebuah tugas yang potensial bagi misi bunuh diri. Mereka sangat kejam
dan mendapat informasi baik untuk mempertimbangkan hal itu, dan mereka tahu
bahwa kita lalai di Inggris."
Virus
ebola
sedang merajalela di Afrika Barat. Sedikitnya 3.800 orang telah tewas hanya
dalam hitungan bulan. Sejumlah kasus perdana kini muncul di Eropa di AS. Kemungkinan
bahwa ISIS bisa membuat situasi menjadi jauh lebih buruk merupakan salah satu
hal yang harus ditangani dengan sangat serius, kata seorang pakar lain. Forbes
melaporkan, dalam jurnal Global Policy yang terbit pada Mei 2013, Amanda
Teckman, penulis naskah Ancaman Bioteroris Ebola di Afrika Timur dan
Implikasinya terhadap Kesehatan dan Keamanan Global menyimpulkan,
"Ancaman serangan bioteroris ebola
di Afrika Timur merupakan masalah kesehatan dan keamanan global, dan tidak
boleh diabaikan." Isu ini sebenarnya tidak baru. Kekhawatiran di Amerika
bahwa ebola
dapat digunakan sebagai senjata bilogi telah menjadi katalisaor munculnya
Project Bioshield senilai 5,6 miliar dollar, kata sebuah sumber yang akrab
dengan masalah, yang tidak mau namanya diberitakan. Proyek itu ditandatangani
Presiden George W. Bush tahun 2004.
Namun, Jennifer Cole, peneliti senior di Royal United Services Institute, mengatakan bahwa sekarang bukan waktu terbaik untuk mengerjakan strategi itu, walau ia mengakui bahwa tidak mungkin ISIS menggunakan ebola sebagai senjata. Dia mengatakan kepada MailOnline, "Semua orang memperhatikan gejala-gejala ebola saat ini sehingga mereka akan sangat tidak mungkin untuk melakukan hal itu. Masalah lain dengan ebola adalah bahwa hal itu sangat sulit dikendalikan. Kaum militan bisa berakhir dengan melenyapkan diri mereka sendiri sebelum mereka punya kesempatan untuk menyebarkannya. Untuk serangan bunuh diri, memasang batang dinamit di dada Anda jauh lebih efektif." Ahli keamanan Timur Tengah, Andreas Krieg, dari King’s College London's Department of Defence Studies menyuarakan skeptisisme yang sama. Dia mengatakan, "Memang mungkin bagi ISIS untuk menggunakan virus ebola karena hal itu merupakan sumber yang murah dan dapat diakses di Afrika Barat. Namun, mengingat WHO dan usaha masyarakat internasional untuk mencegah penyebaran virus itu, akan semakin sulit "mengekspor" virus itu melalui transportasi udara ke bagian lain dunia. Hal itu akan membutuhkan banyak usaha dan kesempatan keberhasilannya rendah." Dia menambahkan, "Saat ini ISIS tidak berfokus ke Barat. Saat ini ISIS berfokus utuk memperluas wilayah dan pengaruhnya di Suriah dan Irak. Kelompok itu masih terjebak di sana. Dalam konteks ini, saya tidak melihat ada tempat yang bakal jadi sasaran ebola, sebagai sebuah senjata biologi, yang akan digunakan untuk melawan salah satu musuh mereka. Akan terlalu berisiko karena mereka mungkin akan menginfeksi anggotanya sendiri dan orang-orang yang tinggal di wilayah mereka." Profesor Glees menambahkan, "Secara logistik akan sangat sulit untuk membawa seorang militan ISIS ke Afrika Barat, yang datang untuk berkontak dengan Ebola, menunggu hingga mengetahui mereka terinfeksi, kemudian melakukan perjalanan ke London."”
Namun, Jennifer Cole, peneliti senior di Royal United Services Institute, mengatakan bahwa sekarang bukan waktu terbaik untuk mengerjakan strategi itu, walau ia mengakui bahwa tidak mungkin ISIS menggunakan ebola sebagai senjata. Dia mengatakan kepada MailOnline, "Semua orang memperhatikan gejala-gejala ebola saat ini sehingga mereka akan sangat tidak mungkin untuk melakukan hal itu. Masalah lain dengan ebola adalah bahwa hal itu sangat sulit dikendalikan. Kaum militan bisa berakhir dengan melenyapkan diri mereka sendiri sebelum mereka punya kesempatan untuk menyebarkannya. Untuk serangan bunuh diri, memasang batang dinamit di dada Anda jauh lebih efektif." Ahli keamanan Timur Tengah, Andreas Krieg, dari King’s College London's Department of Defence Studies menyuarakan skeptisisme yang sama. Dia mengatakan, "Memang mungkin bagi ISIS untuk menggunakan virus ebola karena hal itu merupakan sumber yang murah dan dapat diakses di Afrika Barat. Namun, mengingat WHO dan usaha masyarakat internasional untuk mencegah penyebaran virus itu, akan semakin sulit "mengekspor" virus itu melalui transportasi udara ke bagian lain dunia. Hal itu akan membutuhkan banyak usaha dan kesempatan keberhasilannya rendah." Dia menambahkan, "Saat ini ISIS tidak berfokus ke Barat. Saat ini ISIS berfokus utuk memperluas wilayah dan pengaruhnya di Suriah dan Irak. Kelompok itu masih terjebak di sana. Dalam konteks ini, saya tidak melihat ada tempat yang bakal jadi sasaran ebola, sebagai sebuah senjata biologi, yang akan digunakan untuk melawan salah satu musuh mereka. Akan terlalu berisiko karena mereka mungkin akan menginfeksi anggotanya sendiri dan orang-orang yang tinggal di wilayah mereka." Profesor Glees menambahkan, "Secara logistik akan sangat sulit untuk membawa seorang militan ISIS ke Afrika Barat, yang datang untuk berkontak dengan Ebola, menunggu hingga mengetahui mereka terinfeksi, kemudian melakukan perjalanan ke London."”
Ebola
masuk ke dalam isu keamanan internasional karena dilihat dari dimensi
biopolitiknya. Konsep biopolitik sangat erat kaitannya dengan tulisan-tulisan
dari Michel Foucault. Foucault mengenalkan tiga konsep untuk melihat kekuasaan
modern yang terkait dengan dimensi eksistensi biologis manusia, yaitu biopower,
anatamo-politic, dan biopolitics. Biopower adalah konsep yang berkaitan dengan
pembuatan pengetahuan dan kekuasaan (power-knowledge) sebagai agen untuk
transformasi kehidupan manusia. Biopower menganggap masyarakat sebagai makhluk
biologis atau dengan kata lain hidup tidak sebagai subjek hukum atau politik,
memperlakukan manusia sebagai makhluk hidup.
Anatomo-politik
adalah konsep yang berkaitan strategi politik menganggap manusia sebagai tubuh
(body), artinya bahwa bagaimana cara untuk membuat tubuh manusia menjadi lebih
produktif secara fisik. Sesuai dengan namanya (anatomi), konsep ini berusaha
untuk membuat sistem tentang bagaimana pengelolaan manusia secara jasmaniah.
Sedangkan biopolitk, mengacu pada strategi politik yang bertujuan secara
kolektif menganggap manusia sebagai spesies. Konsep ini erat kaitannya dengan
masalah populasi dimana manusia sebagai makhluk biologis yang melakukan
reproduksi. Konsep ini berusaha mengatur tingkat populasi, seperti tingkat
natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), meningkatkan harapan hidup
rata-rata, menurunkan tingkat morbiditas dan (keadaan tidak sehat).
Dengan
demikian, jika tujuan biopolitik adalah untuk memaksimalkan kesehatan manusia,
maka penyakit tidak bisa dianggap hanya sebagai masalah kesehatan saja.
Penyakit harus dikendalikan secara politik, sosial, dan ekonomi yang perlu
diselesaikan secara kolektif melalui kebijakan yang komprehensif. Dalam lima
dekade terakhir, beberapa kali dunia telah diserang oleh wabah virus
menakutkan. Pada tahun 1967, terjadi sebuah wabah virus mematikan yg kemudian
disebut virus Marburg. Penderita pertamanya adalah seorang pekerja pabrik
vaksin Behringwerke di Marburg, Jerman. Pekerja tersebut menangani
binatang-binatang percobaan untuk membuat vaksin, terutama monyet-monyet
tertentu dari Afrika Tengah. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1976,
wabah virus kembali menyerang. Serangan utamanya terjadi di Afrika Tengah, dan
di tepian sungai Ebola. karenanya, virus tersebut diberi nama virus Ebola. Lima
tahun kemudian, lagi-lagi dunia dikejutkan oleh munculnya serangan virus
mematikan penyebab penyakit AIDS, HIV. Virus ini diduga berasal dari sejenis
monyet di Afrika Tengah. Selanjutnya, pada tahun 2003, dunia dihebohkan lagi
oleh penyakit yg disebut sebagai SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome).
Virus penyebab penyakit tersebut datang dari provinsi Guangdong, Cina. Setelah
melalui beberapa penelitian, diduga penyakit tersebut disebabkan oleh sejenis
virus dari kelompok Coronavirus, yaitu virus RNA yg berbentuk bulat seperti
korona (Mahkota). Tahukah kamu bahwa persinggungan antara manusia dengan virus
tanpa disadari sebenarnya sudah terjadi sejak ribuan tahun yg lampau? Sekitar
tahun 400 SM, penyakit rabies yg sekarang diketahui penyebabnya adalah virus,
telah diketahui oleh Aristoteles dan Celius Aureliarus. Pada waktu itu,
penyakit tersebut bernama hydrophobia (hydro= air, phobia=takut). Awal pengamatan
virus dimulai dengan penelitian mengenai penyakit mosaik yg menghambat
pertumbuhan tanaman tembakau dan membuat daun tanaman tersebut memiliki
bercak-bercak.
Pada
tahun 1883, seorang Ilmuan Jerman bernama Adolf Mayer, menemukan bahwa penyakit
tersebut dapat menular ketika tanaman yg ia teliti menjadi sakit setelah
disemprot dengan getah tanaman yg sakit. Karena tidak berhasil menemukan
mikroba di dalam getah tanaman tersebut, Mayer menyimpulkan bahwa penyakit
tersebut disebabkan oleh bakteri yg tidak dapat dilihat dengan mikroskop. Pada
tahun 1892, Ilmuan asal Rusia, Dimitri Ivanowsky menemukan bahwa getah daun
tembakau yg sudah disaring dengan penyaring bakteri masih dapat menimbulkan
penyakit mosaik. Ivanowsky lalu menyimpulkan dua kemungkinan. Yg pertama,
bakteri penyebab penyakit tersebut sangatlah kecil, sehingga masih dapat
melewati saringan, atau kemungkinan kedua, bakteri tersebut mengeluarkan toksin
yg dapat menembus saringan. Kemungkinan kedua ini dibuang pada tahun 1897
setelah Martinus Beijerinck dari Belanda menemukan bahwa agen infeksi di dalam
getah yg sudah disaring tersebut dapat bereproduksi, karena kemampuannya
menimbulkan penyakit tidak berkurang setelah beberapa kali ditransfer antar
tanaman. Patogen mosaik tembakau disimpulkan sebagai bukan bakteri, melainkan
merupakan sejenis cairan hidup pembawa penyakit. Setelah itu, pada tahun 1898,
dua orang Ilmuan, Lneffler dan Frosch melaporkan bahwa penyakit mulut dan kaki
sapi dapat melewati filter yg tidak dapat dilewati bakteri. Namun demikian,
mereka menyimpulkan bahwa patogennya adalah bakteri yg sangat kecil. Pendapat
Beijerinck baru terbukti pada tahun 1933, setelah Wendell Stanley dari
Institute of Rockefeller (USA) berhasil mengkristalkan suspensi partikel virus
dari ekstrak daun tembakau. Virus ini merupakan virus yg pertama kali
divisualisasikan dengan mikroskop elektron pada tahun 1939 oleh Ilmuan Jerman,
G.A. Kavsche, E. Pfonhuch dan H.Ruska.
ANALISIS
Namun
dalam hal ini kelompok kami mencoba melihat sikap Negara adidaya yaitu Amerika
untuk menangani kasus ini. Dan hubungannya dengan Negara-negara Afrika sebagai
Negara mula virus ini berada. Disini kami mencoba melihat dari segi motif
dibelakang sikap Amerika terhadap virus Ebola.
Virus
Ebola yang mewabah ke berbagai kawasan dunia harus benar-benar dicermati
sebagai senjata biologis. Namun dalam hal ini harus dilihat pula agenda strategis
yang diusung Amerika yaitu mengkondisikan kehadiran pasukan asing di
negeri-negeri yang berdaulat. Yang kemudian bermuara pada melayani skema besar
negara-negara adidaya yaitu penguasaan dan pencaplokan sumberdaya alam di
negeri-negeri berdaulat yang menjadi sasaran mereka. Maka berkaitan dengan hal
itu, Obama akan mengirimkan 3.000 pasukan untuk membangun sebuah klinik,
mendistribusikan peralatan medis dan melatih pekerja kesehatan[1].
Karena penyebaran virus mematikan ebola menjadi ancaman terhadap keamanan
global. Hal ini bukannya saja dilakukan semata-mata untuk mengobati pasien atau
menekan jumlah penyebaran virus, namun ada agenda lain yang disiapkan Negara
adidaya itu.
Diberitakan
BBC, Selasa 16 September 2014, juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest menyebut
3.000 pasukan itu tidak akan memberikan perawatan langsung kepada pasien ebola[2].
Mereka, akan ditugaskan di markas di Senegal. Sementara, pasukan lainnya akan
memberikan logistik, pelatihan dan dukungan teknik di Liberia. Yang patut
digarisbawahi dalam hal ini adalah, bahwa melalui tebar isu wabah virus Ebola,
kehadiran pasukan Amerika berjumlah 3000 telah diberi justifikasi atau alasan
pembenar untuk memasuki Sinegal dan Liberia. Dengan kata lain, isu virus Ebola
pada hakekatnya telah diperluas ruang lingkupnya menjadi isu pertahanan dan
keamanan nasional oleh pemerintahan Presiden Barrack Obama.
Selain
itu Obama Komando Afrika AS akan membangun sebuah markas di Ibu kota Monrovia
untuk bertindak sebagai komando regional dan pusat pengendalian, agar bisa
berkoordinasi dengan militer Negeri Paman Sam dan program penanggulangan
bencana internasional. Pasukan itu, nantinya juga akan disiapkan di markas
untuk mengawasi transit peralatan militer dan personil. Penasihat AS juga akan melatih hingga 500
tenaga medis setiap pekannya di Liberia. Hal itu, dilakukan untuk meningkatkan
layanan medis dan infrastruktur kesehatan di Liberia yang telah lumpuh.[3]
Di
luar soal Virus Ebola sebagai isu yang diolah oleh Amerika menjadi isu pertahanan
dan keamanan, apa agenda tersembunyi lain di balik tebar isu soal Virus Ebola
yang mewabah di kawasan Afrika. Kita sama-sama bisa melihat pada 8 Agustus
2014, World Health Organization (WHO) telah mengumumkan darurat kesehatan
internasional untuk wabah Ebola[4]. Hal
ini menjadi perkembangan serius yang pernah dikeluarkan WHO. Memang wabah ini
menjadi wabah mematikan bagi penderitanya, dan penularannya pun bisa melalui
kontak mata langsung. Namun peristiwa internasional yang terjadi pada 4-6
Agustus 2014. Yang berarti, dua hari sebelum pernyataan WHO tersebut dirilis
kepada publik . Telah berlangsung pertemuan yang disebut “US-Africa Summit[5].”
Mungkinkah adanya persengkokolan antara Amerika dan WHO untuk mewujudkan skema
global baru pada komunitas internasional? Entahlah, yang jelas Sekitar 50
kepala negara atau yang mewakilinya yang ada di Afrika bertemu langsung dengan
Presiden Obama. Dalam tiga pertemuan yang mengusung tema “Investing in the Next
Generation” tersebut, dibahas beberapa kerjasama antara Amerika dan
negara-negara Afrika. Tentu saja disertai dengan beberapa komitmen pinjaman luar negeri
Amerika untuk negara-negara Afrika.
“Saya tidak memandang negara-negara dan rakyat
Afrika sebagai bagian dunia yang terpisah. Saya memandang Afrika sebagai bagian
integral dari dunia internasional yang saling berhubungan dan terkait satu sama
lain. Merupakan mitra-mitra Amerika atas nama masa depan anak-anak yang kita
idam-idamkan. Kemitraan tersebut harus didasarkan pada tanggungjawab dan rasa
hormat satu sama lain,” begitu sambutan dari Obama pada US-Africa summit
tersebut[6].
Dari
kata-kata manis yang dilontarkan Obama seolah tersirat terungkap adanya niat
Amerika untuk menguasai Afrika demi kepentingan nasional. Mengingat fakta bahwa
Rusia dan Cina sudah lebih dahulu masuk Afrika dengan menjalin kerjasama
ekonomi dan politik meskipun tidak sebesar Eropa dan AS.
Dengan
merujuk pada sebuah laporan dari The Arms Trade Resource Center yang berjudul
“Deadly Legacy: US Arms to Africa and the Congo War, tercatat pada 2000 saja,
AS sudah menjual senjatanya ke negara-negara Afrika (Liberia, Somalia, Sudan,
dan Zaire) dengan perkiraan total sebesar lebih dari US$ 5 miliar.
Dalam
hal ini menurut penulis bukan saja membaca arah kasus darurat virus Ebola dan
penanganannya ke depan. Namun kita juga harus melihat kepentingan-kepentingan
politik Negara-negara yang terlibat. Apalagi pidato Obama yang menempatkan
Rusia dalam daftar acaman terbesar bagi dunia bersama kelompok Negara Islam
Irak dan Suriah (ISIS) dan wabah Ebola dalam KTT G-20 di Australia. Itu bukan
pertama kalinya Obama menyamakan bahaya Rusia dengan ISIS dan virus Ebola.
Gorbachev sebelumnya berharap negara-negara di seluruh dunia bisa bersama-sama
menghadapi tantangan besar, termasuk teror ISIS, virus Ebola dan ancaman
terhadap ekonomi dan lingkungan. Dalam isu-isu kontemporer dunia, dari setiap
isu dan masalah yang terjadi tentu adanya motif lain adanya agenda lain yang
dipersiapkan Negara-negara yang berkepentingan.
Pada
9 Juli 2004, ada pernyataan pers cukup penting tentang penanganan virus Ebola.
Tekmira Pharmaceuticals mendapat bantuan
dari Mosanto untuk melakukan penelitian dan pengembangan virus Ebola
sebesar 1,5 miliar dolar Amerika. Namun kemudian ada keterangan pers lain yang
dikeluarkan Tekmira yang cukup mengejutkan. Tekmira ternyata sudah tanda tangan
kontrak senilai 140 juta dolar Amerika dengan pihak militer Amerika untuk
penanganan Ebola.[7]
Namun
faktanya, Mosanto sebagai salah satu perusahaan multinasional yang telah
dituding banyak kalangan sebagai salah satu aktor politik di balik hancurnya
ketahanan pangan di beberapa negara, termasuk Indonesia, telah bekerjasama
dengan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) ikut membiayai Tekmira di saat
isu Ebola menggemparkan dunia.
Dengan
demikian kami membaca merebaknya isu virus Ebola, ada motif atau agenda lain
di balik isu ini. Sepertinya ada rencana
geopolitik besar untuk menekan
negara-negara Afrika dengan menggunakan virus Ebola sebagai “pintu masuk” untuk
melayani skema penguasaan geopolitik beberapa negara Afrika tersebut di atas.
KESIMPULAN
Ebola
dianggap sebagai isu keamanan internasional karena virus ini merupakan virus
mematikan dan penyebaran dengan cepat. Gejala dari Ebola hemorrhagic fever
(EHV) biasanya dimulai empat hingga 15 hari sesudah seseorang terinfeksi.
Rata-rata gejala yang dialami berupa sakit seperti flu, demam tinggi, dan
nyeri. Cara penularannya melalui kontak fisik langsung antarmanusia ataupun
lewat cairan penderita. Yang terjangkit harus segera diisolasi.
Ebola
masuk ke dalam isu keamanan internasional karena dilihat dari dimensi
biopolitiknya. Konsep biopolitik sangat erat kaitannya dengan tulisan-tulisan
dari Michel Foucault. Foucault mengenalkan tiga konsep untuk melihat kekuasaan
modern yang terkait dengan dimensi eksistensi biologis manusia, yaitu biopower,
anatamo-politic, dan biopolitics. Jika tujuan biopolitik adalah untuk
memaksimalkan kesehatan manusia, maka penyakit tidak bisa dianggap hanya
sebagai masalah kesehatan saja. Penyakit harus dikendalikan secara politik,
sosial, dan ekonomi yang perlu diselesaikan secara kolektif melalui kebijakan
yang komprehensif.
Adakah
motif atau agenda lain di balik virus
Ebola yang semakin menyebar? Sepertinya ada rencana geopolitik besar untuk menekan negara-negara Afrika
dengan menggunakan virus Ebola sebagai “pintu masuk” untuk melayani skema
penguasaan geopolitik beberapa negara Afrika tersebut di atas. Dengan kebijakan
Amerika akan mengirimkan 3.000 pasukan untuk membangun sebuah klinik,
mendistribusikan peralatan medis dan melatih pekerja kesehatan. Dan dikaitkan
dengan pertemuan “US-Africa Summit” dalam kerjasama itu seolah tersirat
terungkap adanya niat Amerika untuk menguasai Afrika demi kepentingan nasional.
Sumber Analisis from: Global Future Insititute http://www.theglobal-review.com/
NB: digunakan sebagai tugas Teori Ilmu Hubungan Internasional 2