Laman

 photo tabfashion.png photo tabtumblr.png photo tabtutorial.png
 photo tabtutorial.png

Analisis sikap Amerika terhadap virus Ebola

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, batas-batas wilayah tidak lagi menjadi hambatan yang berarti. Sistem internasional pun akhirnya mengalami integrasi. begitu juga dengan aktor internasional, tidak lagi dimonopoli oleh beberapa negara seperti pada era perang dingin. Dengan demikian, peta politik dunia berubah menjadi sistem yang multipolar dari sistem bipolar. Banyaknya jumlah negara yang berinteraksi di dunia internasional membuat fokus perhatian para politisi dan ilmuwan tidak lagi terpusat pada masalah tradisional (aspek militer). Isu-isu yang menjadi perhatian semakin kompleks. Salah satu isu yang diangkat sebagai isu keamanan internasional adalah ancaman bioterorisme oleh ISIS.
Mengapa Ebola dianggap sebagai isu keamanan internasional? Ebola merupakan salah satu penyakit yang paling mematikan. Dilaporkan terjadi 284 kasus, setengah di antaranya membuat korban sekarat. Gejala dari Ebola hemorrhagic fever (EHV) biasanya dimulai empat hingga 15 hari sesudah seseorang terinfeksi. Rata-rata gejala yang dialami berupa sakit seperti flu, demam tinggi, dan nyeri. Tingkat penyebarannya pun sangat tinggi, Penyebaran virus Ebola terbesar di dunia menyebabkan 2.800 orang tewas, dan sebagian besar di Guinea, Liberia dan Sierra Leone menurut data WHO.

Penyebaran virus ebola semakin meluas orang pertama di Amerika Serikat yang diketahui menderita ebola meninggal. Penyebaran di Eropa juga mulai terjadi. Ebola hemorrhagic fever merupakan penyakit infeksi tropis yang berat. Cara penularannya melalui kontak fisik langsung antarmanusia ataupun lewat cairan penderita. Yang terjangkit harus segera diisolasi. Angka kematian pun tinggi. Dari 100 pasien, 90 meninggal. Saat ini ebola menghantui negara-negara Afrika Barat, seperti Guinea, Sierra Leone, dan Liberia. Diperkirakan 3.000 orang tewas akibat virus tersebut, kebanyakan karena pelayanan kesehatan yang buruk. Langkah Malaysia memberi imbauan kepada rakyatnya mereka berjaga di setiap pintu gerbang. Pemeriksaan penumpang diberlakukan di semua titik masuk utama di Malaysia. Mereka telah menetapkan status waspada terhadap virus ini. Para penumpang dari negara yang terinfeksi ebola, yang menunjukkan nyeri otot dan demam, akan langsung dikarantina. Di Indonesia belum melakukan tindakan pencegahan serius. Sejauh ini pemerintah hanya melakukan sosialisasi.

Para politisi internasional berpendapat bahwa Ebola akan menjadi masalah jangka panjang yang dapat mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Oleh karena itulah, Dewan Keamanan PBB meminta seluruh pemerintah diseluruh dunia untuk menjadikan pandemik Ebola ini sebagai prioritas politik karena berkaitan dengan National Security sebuah bangsa. Dengan demikian, politik tidak hanya berkaitan dengan perang dan damai, tetapi juga politik berhubungan dengan penanganan masalah kesejahteraan dan kesehatan manusia.

B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas maka dapat ditarik menjadi sebuah pertanyaan penelitian sebagai berikut :
•           Apa yang dimaksud biopolitik ? dan Kenapa muncul bioterorisme ?
•           Kapan senjata biologis mulai dipergunakan sebagai instrument ancaman ?
•           Bagaimana sikap Amerika dalam mengatasi Ebola dan apa motif dibalik sikap tersebut ?
                                                                             
PEMBAHASAN

Masalah etika semakin menjadi persoalan yang tidak sederhana menjelang abad modern setelah ditemukannya dan berkembangnya psikiatri, psikologi, psikopatologi, psikoanalisis, kedokteran, klinik, penghukuman dan penjara. Semenjak berkembangnya permasalahan ini, etika tidak lagi menjadi wilayah dominasi perbincangan para filsuf. Para dokter, psikolog, ahli biologi, ahli kesehatan dan ahli ekonomi pun memperbincangkan masalah ini. Disinilah mulai berkembangnya sebuah cabang dari etika yang biasa orang sebut bioethics.
Permasalahan mengenai bio-etika saat ini tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Terutama pada masyarakat Eropa. Salah satu faktor yang membentuk masyarakat Barat seperti saat ini, banyak berhubungan dengan persoalan bio-etika. Sejak zaman pasca renaisans, kekuasaan berusaha masuk ke wilayah bio-etika untuk mengontrol pembentukan masyarakat Barat. Pembersihan, pengontrolan, praktek-praktek klinis, regulasi, normalisasi, penjara dan segala bentuk pendisiplinan diterapkan dalam masyarakat Eropa. Kekuasaan pun mulai berkerja sama dengan ilmu pengetahuan untuk mengerjakan proyek kontelasi sosial. Selubung kekuasaan atas bio-etika ini bertujuan membentuk docile body.
Selubung kekuasaan inilah yang berusaha dibongkar oleh filsuf sejarah sistem pemikiran manusia asal Perancis, Michel Foucault. Dalam studinya Foucault menelusuri tema-tema yang tidak pernah dijamah oleh para filsuf sebelumnya. Tema-tema mengenai kegilaan, penyakit mental, penghukuman, pendisiplinan, penjara, klinis dan seks menjadi bahan-bahan untuk melihat strategi kekuasaan dalam wilayah bio-etika. Penelusuran Foucault atas arkelogi dan juga genealogi[i] bio-etika ini penting untuk melihat betapa berkuasanya kekuasaan menormalisasi tubuh manusia.
Penerapan strategi kekuasaan dalam mengontrol tubuh paling nyata terhadap apa yang dimaksud Foucault sebagai bio power. Bio power adalah teknologi yang dikembangkan seiring dengan berkembangnya ilmu-ilmu kemanusiaan (Adian, 2002). Dalam konsep ini Foucault bermaksud menyatakan sebuah situasi ketika biologi dan kesehatan dipikirkan di dalam politik (Haryatmoko, 2002). Bio power cenderung menormalisasi dan lebih memilih norma daripada sistem hukum yang berlaku. Berarti cara kerjanya tidak melalui represi melainkan dengan teknik normalisasi. Tujuan diterapkannya mekanisme bio power adalah untuk menata, mengawasi, mendisiplinkan, kontrol atas penduduk. Sebagai contoh : penerapan demografi, KB (keluarga berencana), kontrol kesehatan, asuransi kesehatan, jaminan sosial, sterilisasi masyarakat.
Wacana bio power semakin mengemuka akibat terjadinya kepanikan terhadap ledakan penduduk di belahan Eropa. Selain disibukkan dengan pembangunan ekonomi, kelas menengah Eropa amat takut terhadap populasi yang tidak terkontrol ini. Kelas menengah Eropa semakin membutuhkan semacam penanggulangan terhadap permasalahan populasi ini. Tumbuh kesadaran untuk menggabungkan manajemen perkawinan dan kematian dalam konteks demografi. Kontrol atas seksualitas inilah salah satu penerapan utama dari strategi bio power ini.
Apabila kita sinkronisasikan kontrol seksual dengan cita-cita utopis masyarakat borjuis Eropa kita akan menemukan jawabannya. Masyarakat borjuis Eropa menginginkan lingkungan dan tubuh yang steril pada setiap individu. Agar kelangsungan kehidupan mereka tetap terproteksi dari berbagai macam jenis penyakit, tetap sehat dan produktif dalam bekerja. Rekayasa sosial ini juga berupaya untuk mengontrol banyaknya kelahiran yang bukannya berguna malahan membuat kerepotan di masyarakat. Masyarakat borjuis Eropa abad 18-19 lebih mementingkan tubuh yang berguna, sehat, kuat, aktif daripada populasi yang banyak. Inilah superioritas kelas menengah Eropa dalam membentuk peradaban Eropa modern.
Bioterorisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan penggunaan sabotase atau penyerangan dengan bahan-bahan biologis atau racun biologis dengan tujuan untuk menimbulkan kerusakan pada perorangan atau kelompok perorangan. Aktifitas-aktifitas ini, secara umum, menyebabkan kerusakan, intimidasi, atau kohersi, dan biasanya berhubungan dengan ancaman yang menyebabkan kepanikan publik. Agen biologis yang paling umum digunakan sebagai senjata teror adalah mikroorganisme dan racun-racunya, yang dapat digunakan untuk menimbulkan penyakit atau kematian pada populasi penduduk, binatang, bahkan tanaman. Agen pencemaran dapat dilepaskan di udara, air, atau makanan. Ada banyak definisi mengenai bioterorisme, namun secara substansial akan sama dengan definisi diatas.
Senjata Biologis
Konvensi pertama untuk melarang penggunaan senjata biologis ditandatangani di Jenewa pada tahun 1925. Di tahun 1972, dibawah kepemimpinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 103 negara menandatangani konvensi mengenai senjata biologis, yang isinya melarang pengembangan, produksi, penumpukan, dan penggunaan senjata biologis. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk melenyapkan secara sepenuhnya kemungkinan dari penggunaan agen biologis dan racunya sebagai senjata pemusnah masal.
Pada konferensi mengenai bioterorisme di San Diego, Kalifornia pada awal tahun 2000, para pakar menyimpulkan bahwa Amerika Serikat tidak siap untuk menghadapi serangan senjata biologis dengan patogen seperti cacar, antrax, Ebola, botulinum, dan lainnya. Pada simposium nasional kedua mengenai bioterorisme di Washington DC di tahun 2000, salah satu dari kesimpulan yang diambil ialah bahwa sistem kesehatan masyarakan Amerika Serikat sama sekali tidak siap untuk menghadapi serangan yang menggunakan senjata biologis. Pada hal lain, di Maret 2001, peneliti pada pusat studi bioterorisme di Universitas St. Louis menemukan fakta bahwa 75 persen dari aparat kesehatan masyarakat mencemaskan bahwa beberapa kota di Amerika Serikat akan mendapatkan serangan senjata biologis dalam waktu 5 tahun. Ramalan para ilmuwan ini terbukti benar, sebab pada Oktober 2001, hanya 4 bulan setelah pertemuan itu, Amerika Serikat mendapat serangan Antrax.
Bioterorisme adalah masalah besar sepanjang sejarah manusia. Salah satu laporan awal mengenai bioterorisme di abad ke 6 sebelum masehi, ketika tentara Asiria meracuni sumur air dari musuhnya dengan ergot, suatu fungi yang memproduksi racun yang sering ditemukan pada rogge (sebangsa gandum). Laporan yang lebih moderen menunjukkan, pada sekitar tahun 1520, Francisco Pizarro, seorang Jendral Spanyol yang memimpin penaklukan kerajaan Inca di Peru, memberikan pakaian yang mengandung kuman cacar kepada orang Inca. Laporan yang serupa menuduh Inggris kemungkinan juga menggunakan patogen untuk menghancurkan musuh mereka sewaktu proses penjajahan Amerika Utara. Negara itu kemungkinan mendistribusikan selimut yang mengandung kuman cacar kepada orang Indian. Berikut ini dibawah akan dijabarkan penggunaan senjata biologis di jaman modern ini.

Bioterorisme di Perang Dunia II
Apa yang kurang diketahui adalah senjata biologis yang digunakan di front eropa timur pada perang dunia II. Dalam bukunya, Biohazard, Ken Alibek, yang pernah menjabat sebagai wakil ketua pengembangan senjata biologis Uni Soviet tahun 1988-1991, menjabarkan pengalamannya dan riset yang tertera dalam arsip-arsip Soviet. Menurut hasil penemuannya, Uni Soviet telah menggunakan kuman yang mengakibatkan penyakit tularemia pada unit Wehrmacht (Angkatan Bersenjata Jerman) sewaktu pertempuran Stalingrad tahun 1942. Gejala dari penyakit ini adalah sakit kepala, mual, dan demam tinggi, yang dapat menyebabkan kematian bila tidak dirawat. Walaupun senjata biologis ini menyebabkan Jerman mengalami kerugian sangat banyak, namun penyakit ini juga menular kepada penduduk sipil dan pada tentara soviet sendiri. Kasus ini menjelaskan ternyata senjata biologis menjadi bumerang untuk pihak Soviet.
Di lain pihak, Jerman juga mengembangkan senjata biologis. Namun fungsinya hanya terbatas untuk sabotase ekonomi dan pertanian. Jerman tidak pernah serius mengembangkan patogen yang menyerang manusia, namun mengembangkan patogen untuk menghancurkan pertanian dan peternakan musuh-musuhnya. Berdasarkan informasi dari Gestapo (polisi rahasia jerman), ternyata justru Uni Soviet mengembangkan senjata biologis secara lebih serius. Soviet memiliki 8 fasilitas instalasi senjata biologis di negara mereka untuk menguji kuman antrax dan penyakit kaki-mulut. Gestapo juga melaporkan bahwa Inggris menguji kuman Antrax, disentri, dan glander. Akhirnya Gestapo justru mendapat informasi bahwa Amerika Serikat mengembangkan senjata biologis di Arsenal Edgewood (Maryland) dan Pine Bluff (Arkansas).
Walaupun Nazi Jerman memiliki berbagai laporan intelejen yang komprehensif, Adolf Hitler justru menolak setiap usul dari bawahannya untuk mengembangkan senjata biologis secara serius dan terencana. Justru Hitler mengarahkan riset Jerman kepada usaha defensif untuk menahan serangan senajata biologis dari pihak sekutu. Namun, dalam skala yang terbatas, Nazi melakukan percobaan senjata biologis pada tahanan di kamp konsentrasi mereka di Aushwich, Polandia. Tahanan dipaparkan dengan kuman Rickettsia prowazekii, Rickettsia mooseri, virus hepatitis A, dan Plasmodia spp. Namun berbeda dengan percobaan yang dilakukan Jepang, yang akan dijelaskan dibawah, percobaan pihak Nazi lebih terbatas untuk mengembangkan vaksin saja. Mayoritas tahanan di Aushwich tewas karena senjata kimia (Mereka dipaparkan DDT dan gas CO), bukan karena senjata biologis.

Percobaan Unit 731, Aushwich di Asia
Kasus lain mengenai bioterorisme skala besar, yang jarang sekali diungkap oleh para ilmuwan, adalah kasus bioterorisme oleh unit 731 di Manchuria, China bagian utara. Unit 731 adalah salah satu organ dari tentara kekaisaran Jepang yang dibentuk untuk melapangkan jalan bagi Jepang untuk menjajah China. Unit ini dibentuk sewaktu Jepang menyerbu China pada tahun 1937. Alasan invasi Jepang ke China, menurut versi sejarawan Jepang adalah “Untuk membebaskan rakyat China dari tipu daya Amerika dan Inggris”. Unit 731 dibentuk dengan disamarkan sebagai fasilitas pemurnian air. Ia dibangun di kota Pingfan, dekat Harbin, di China timur laut. Diperkirakan ada sekitar 3000 warga China, Korea, dan sekutu yang meninggal dalam eksperimen unit 731. Direktur unit 731 adalah Shiro Ishi, seorang dokter yang ahli bakteriologi. Ishi dan timnya, tanpa mempertimbangkan masalah etika dan moral, mengembangkan senjata demi kepentingan Jepang. Ishi memberikan para tawanan perang China, Korea, Inggris dan Amerika Serikat dengan kuman patogen seperti antrax, tanpa rasa kasihan sedikitpun.
Secara sistematis, Ishi dan timnya menjadikan para tawanan perang sebagai kelinci percobaan mereka. Para tawanan itu dipasung di atas tiang, lalu dipaparkan dengan kuman patogen. Kemudian Ishi dan teamnya dari tempat yang aman, mencatat seberapa lama lagi mereka akan meninggal. Eksperimen ini menyebakan tingkat kematian tawanan sekitar 70 persen. Bahkan dalam beberapa kasus bisa mencapai 100 persen. Korban pihak China akibat aksi bioterorisme unit 731 sangat sukar untuk diperkirakan.
Unit 731 memaparkan sungai, sumur, dan cadangan air pihak China dengan kuman kolera, disentri, tiphus, dan antrax. Menyerahnya Jepang kepada pihak sekutu pada tahun 1945 mengakhiri aksi bioterorisme unit 731 dan program pengembangan senjata biologis Jepang untuk selama-lamanya. Akibat dari aksi bioterorisme ini sangat mengerikan karena bahkan jauh setelah perang selesai, pihak China masih menderita banyak kerugian akibat serangan senjata biologis ini. Shiro Ishi ingin menggunakan senjata biologis ini pada perang pasifik di tahun 1944.
Namun perencanaan yang buruk dan sabotase sekutu menggagalkan rencana ini. Beberapa waktu sebelum Jepang menyerah kalah, laboratorium Unit 731 dihancurkan oleh Tentara Jepang. Pihak Amerika Serikat memberikan amnesti kepada para ilmuwan yang terlibat di Unit 731, namun mereka harus memberikan semua data eksperimen mereka kepada pihak Amerika. Menurut sumber resmi pemerintah Amerika Serikat, data-data eksperimen ini sangat berharga dan sukar ditakar nilainya, sebab Amerika sendiri saat itu belum pernah melakukan eksperimen serupa pada manusia hidup. Unit 731 ini memiliki proyek spesial yang menggunakan manusia sebagai bahan eksperimen.
Dan baru – baru ini ISIS sebagai kelompok militan yang sangat ingin menghancurkan barat menebar ancaman melalui media yaitu dengan bio crime dan menggunakan Ebola sebagai bio weapon. Seperti tajuk berikut :
“Kelompok teroris ISIS mungkin tengah mempertimbangkan penggunaan virus ebola sebagai senjata biologi bunuh diri untuk melawan Barat, kata seorang pakar militer. Virus tersebut ditularkan melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Seorang pakar militer mengatakan, tidak akan sulit bagi kaum fanatik itu untuk terpapar virus tersebut dan kemudian melakukan perjalanan ke negara-negara di mana mereka ingin menularkan malapetaka itu. Kapten Purnawirawan Al Shimkus, seorang Guru Besar Bidang Keamanan Nasional di US Naval War College, mengatakan, strategi itu sangat masuk akal. Dia mengatakan kepada majalah Forbes, "Individu yang terkena virus ebola akan menjadi pembawa (penular). Dalam konteks kegiatan teroris, tidak butuh banyak kecanggihan untuk maju ke langkah berikutnya dengan menjadikan manusia sebagai pembawa. "Profesor Anthony Glees, direktur Pusat Studi Intelijen dan Keamanan Universitas Buckingham, setuju bahwa strategi itu mungkin dipertimbangkan. Dia mengtakan, "Dalam sejumlah hal, itu merupakan teori yang masuk akal. Kaum Militan ISIS percaya pada aksi bunuh diri dan itu merupakan sebuah tugas yang potensial bagi misi bunuh diri. Mereka sangat kejam dan mendapat informasi baik untuk mempertimbangkan hal itu, dan mereka tahu bahwa kita lalai di Inggris."
Virus ebola sedang merajalela di Afrika Barat. Sedikitnya 3.800 orang telah tewas hanya dalam hitungan bulan. Sejumlah kasus perdana kini muncul di Eropa di AS. Kemungkinan bahwa ISIS bisa membuat situasi menjadi jauh lebih buruk merupakan salah satu hal yang harus ditangani dengan sangat serius, kata seorang pakar lain. Forbes melaporkan, dalam jurnal Global Policy yang terbit pada Mei 2013, Amanda Teckman, penulis naskah Ancaman Bioteroris Ebola di Afrika Timur dan Implikasinya terhadap  Kesehatan dan Keamanan Global menyimpulkan, "Ancaman serangan bioteroris ebola di Afrika Timur merupakan masalah kesehatan dan keamanan global, dan tidak boleh diabaikan." Isu ini sebenarnya tidak baru. Kekhawatiran di Amerika bahwa ebola dapat digunakan sebagai senjata bilogi telah menjadi katalisaor munculnya Project Bioshield senilai 5,6 miliar dollar, kata sebuah sumber yang akrab dengan masalah, yang tidak mau namanya diberitakan. Proyek itu ditandatangani Presiden George W. Bush tahun 2004.

Namun, Jennifer Cole, peneliti senior di Royal United Services Institute, mengatakan bahwa sekarang bukan waktu terbaik untuk mengerjakan strategi itu, walau ia mengakui bahwa tidak mungkin ISIS menggunakan
ebola sebagai senjata. Dia mengatakan kepada MailOnline, "Semua orang memperhatikan gejala-gejala ebola saat ini sehingga mereka akan sangat tidak mungkin untuk melakukan hal itu. Masalah lain dengan ebola adalah bahwa hal itu sangat sulit dikendalikan. Kaum militan bisa berakhir dengan melenyapkan diri mereka sendiri sebelum mereka punya kesempatan untuk menyebarkannya. Untuk serangan bunuh diri, memasang batang dinamit di dada Anda jauh lebih efektif." Ahli keamanan Timur Tengah, Andreas Krieg, dari King’s College London's Department of Defence Studies menyuarakan skeptisisme yang sama. Dia mengatakan, "Memang mungkin bagi ISIS untuk menggunakan virus ebola karena hal itu merupakan sumber yang murah dan dapat diakses di Afrika Barat. Namun, mengingat WHO dan usaha masyarakat internasional untuk mencegah penyebaran virus itu, akan semakin sulit "mengekspor" virus itu melalui transportasi udara ke bagian lain dunia. Hal itu akan membutuhkan banyak usaha dan kesempatan keberhasilannya rendah." Dia menambahkan, "Saat ini ISIS tidak berfokus ke Barat. Saat ini ISIS berfokus utuk memperluas wilayah dan pengaruhnya di Suriah dan Irak. Kelompok itu masih terjebak di sana. Dalam konteks ini, saya tidak melihat ada tempat yang bakal jadi sasaran ebola, sebagai sebuah senjata biologi, yang akan digunakan untuk melawan salah satu musuh mereka. Akan terlalu berisiko karena mereka mungkin akan menginfeksi anggotanya sendiri dan orang-orang yang tinggal di wilayah mereka." Profesor Glees menambahkan, "Secara logistik akan sangat sulit untuk membawa seorang militan ISIS ke Afrika Barat, yang datang untuk berkontak dengan Ebola, menunggu hingga mengetahui mereka terinfeksi, kemudian melakukan perjalanan ke London."”
Ebola masuk ke dalam isu keamanan internasional karena dilihat dari dimensi biopolitiknya. Konsep biopolitik sangat erat kaitannya dengan tulisan-tulisan dari Michel Foucault. Foucault mengenalkan tiga konsep untuk melihat kekuasaan modern yang terkait dengan dimensi eksistensi biologis manusia, yaitu biopower, anatamo-politic, dan biopolitics. Biopower adalah konsep yang berkaitan dengan pembuatan pengetahuan dan kekuasaan (power-knowledge) sebagai agen untuk transformasi kehidupan manusia. Biopower menganggap masyarakat sebagai makhluk biologis atau dengan kata lain hidup tidak sebagai subjek hukum atau politik, memperlakukan manusia sebagai makhluk hidup.

Anatomo-politik adalah konsep yang berkaitan strategi politik menganggap manusia sebagai tubuh (body), artinya bahwa bagaimana cara untuk membuat tubuh manusia menjadi lebih produktif secara fisik. Sesuai dengan namanya (anatomi), konsep ini berusaha untuk membuat sistem tentang bagaimana pengelolaan manusia secara jasmaniah. Sedangkan biopolitk, mengacu pada strategi politik yang bertujuan secara kolektif menganggap manusia sebagai spesies. Konsep ini erat kaitannya dengan masalah populasi dimana manusia sebagai makhluk biologis yang melakukan reproduksi. Konsep ini berusaha mengatur tingkat populasi, seperti tingkat natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), meningkatkan harapan hidup rata-rata, menurunkan tingkat morbiditas dan (keadaan tidak sehat).
Dengan demikian, jika tujuan biopolitik adalah untuk memaksimalkan kesehatan manusia, maka penyakit tidak bisa dianggap hanya sebagai masalah kesehatan saja. Penyakit harus dikendalikan secara politik, sosial, dan ekonomi yang perlu diselesaikan secara kolektif melalui kebijakan yang komprehensif. Dalam lima dekade terakhir, beberapa kali dunia telah diserang oleh wabah virus menakutkan. Pada tahun 1967, terjadi sebuah wabah virus mematikan yg kemudian disebut virus Marburg. Penderita pertamanya adalah seorang pekerja pabrik vaksin Behringwerke di Marburg, Jerman. Pekerja tersebut menangani binatang-binatang percobaan untuk membuat vaksin, terutama monyet-monyet tertentu dari Afrika Tengah. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1976, wabah virus kembali menyerang. Serangan utamanya terjadi di Afrika Tengah, dan di tepian sungai Ebola. karenanya, virus tersebut diberi nama virus Ebola. Lima tahun kemudian, lagi-lagi dunia dikejutkan oleh munculnya serangan virus mematikan penyebab penyakit AIDS, HIV. Virus ini diduga berasal dari sejenis monyet di Afrika Tengah. Selanjutnya, pada tahun 2003, dunia dihebohkan lagi oleh penyakit yg disebut sebagai SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome). Virus penyebab penyakit tersebut datang dari provinsi Guangdong, Cina. Setelah melalui beberapa penelitian, diduga penyakit tersebut disebabkan oleh sejenis virus dari kelompok Coronavirus, yaitu virus RNA yg berbentuk bulat seperti korona (Mahkota). Tahukah kamu bahwa persinggungan antara manusia dengan virus tanpa disadari sebenarnya sudah terjadi sejak ribuan tahun yg lampau? Sekitar tahun 400 SM, penyakit rabies yg sekarang diketahui penyebabnya adalah virus, telah diketahui oleh Aristoteles dan Celius Aureliarus. Pada waktu itu, penyakit tersebut bernama hydrophobia (hydro= air, phobia=takut). Awal pengamatan virus dimulai dengan penelitian mengenai penyakit mosaik yg menghambat pertumbuhan tanaman tembakau dan membuat daun tanaman tersebut memiliki bercak-bercak.
Pada tahun 1883, seorang Ilmuan Jerman bernama Adolf Mayer, menemukan bahwa penyakit tersebut dapat menular ketika tanaman yg ia teliti menjadi sakit setelah disemprot dengan getah tanaman yg sakit. Karena tidak berhasil menemukan mikroba di dalam getah tanaman tersebut, Mayer menyimpulkan bahwa penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri yg tidak dapat dilihat dengan mikroskop. Pada tahun 1892, Ilmuan asal Rusia, Dimitri Ivanowsky menemukan bahwa getah daun tembakau yg sudah disaring dengan penyaring bakteri masih dapat menimbulkan penyakit mosaik. Ivanowsky lalu menyimpulkan dua kemungkinan. Yg pertama, bakteri penyebab penyakit tersebut sangatlah kecil, sehingga masih dapat melewati saringan, atau kemungkinan kedua, bakteri tersebut mengeluarkan toksin yg dapat menembus saringan. Kemungkinan kedua ini dibuang pada tahun 1897 setelah Martinus Beijerinck dari Belanda menemukan bahwa agen infeksi di dalam getah yg sudah disaring tersebut dapat bereproduksi, karena kemampuannya menimbulkan penyakit tidak berkurang setelah beberapa kali ditransfer antar tanaman. Patogen mosaik tembakau disimpulkan sebagai bukan bakteri, melainkan merupakan sejenis cairan hidup pembawa penyakit. Setelah itu, pada tahun 1898, dua orang Ilmuan, Lneffler dan Frosch melaporkan bahwa penyakit mulut dan kaki sapi dapat melewati filter yg tidak dapat dilewati bakteri. Namun demikian, mereka menyimpulkan bahwa patogennya adalah bakteri yg sangat kecil. Pendapat Beijerinck baru terbukti pada tahun 1933, setelah Wendell Stanley dari Institute of Rockefeller (USA) berhasil mengkristalkan suspensi partikel virus dari ekstrak daun tembakau. Virus ini merupakan virus yg pertama kali divisualisasikan dengan mikroskop elektron pada tahun 1939 oleh Ilmuan Jerman, G.A. Kavsche, E. Pfonhuch dan H.Ruska.

ANALISIS

Namun dalam hal ini kelompok kami mencoba melihat sikap Negara adidaya yaitu Amerika untuk menangani kasus ini. Dan hubungannya dengan Negara-negara Afrika sebagai Negara mula virus ini berada. Disini kami mencoba melihat dari segi motif dibelakang sikap Amerika terhadap virus Ebola.
Virus Ebola yang mewabah ke berbagai kawasan dunia harus benar-benar dicermati sebagai senjata biologis. Namun dalam hal ini harus dilihat pula agenda strategis yang diusung Amerika yaitu mengkondisikan kehadiran pasukan asing di negeri-negeri yang berdaulat. Yang kemudian bermuara pada melayani skema besar negara-negara adidaya yaitu penguasaan dan pencaplokan sumberdaya alam di negeri-negeri berdaulat yang menjadi sasaran mereka. Maka berkaitan dengan hal itu, Obama akan mengirimkan 3.000 pasukan untuk membangun sebuah klinik, mendistribusikan peralatan medis dan melatih pekerja kesehatan[1]. Karena penyebaran virus mematikan ebola menjadi ancaman terhadap keamanan global. Hal ini bukannya saja dilakukan semata-mata untuk mengobati pasien atau menekan jumlah penyebaran virus, namun ada agenda lain yang disiapkan Negara adidaya itu.
Diberitakan BBC, Selasa 16 September 2014, juru bicara Gedung Putih, Josh Earnest menyebut 3.000 pasukan itu tidak akan memberikan perawatan langsung kepada pasien ebola[2]. Mereka, akan ditugaskan di markas di Senegal. Sementara, pasukan lainnya akan memberikan logistik, pelatihan dan dukungan teknik di Liberia. Yang patut digarisbawahi dalam hal ini adalah, bahwa melalui tebar isu wabah virus Ebola, kehadiran pasukan Amerika berjumlah 3000 telah diberi justifikasi atau alasan pembenar untuk memasuki Sinegal dan Liberia. Dengan kata lain, isu virus Ebola pada hakekatnya telah diperluas ruang lingkupnya menjadi isu pertahanan dan keamanan nasional oleh pemerintahan Presiden Barrack Obama.
Selain itu Obama Komando Afrika AS akan membangun sebuah markas di Ibu kota Monrovia untuk bertindak sebagai komando regional dan pusat pengendalian, agar bisa berkoordinasi dengan militer Negeri Paman Sam dan program penanggulangan bencana internasional. Pasukan itu, nantinya juga akan disiapkan di markas untuk mengawasi transit peralatan militer dan personil.  Penasihat AS juga akan melatih hingga 500 tenaga medis setiap pekannya di Liberia. Hal itu, dilakukan untuk meningkatkan layanan medis dan infrastruktur kesehatan di Liberia yang telah lumpuh.[3]
Di luar soal Virus Ebola sebagai isu yang diolah oleh Amerika menjadi isu pertahanan dan keamanan, apa agenda tersembunyi lain di balik tebar isu soal Virus Ebola yang mewabah di kawasan Afrika. Kita sama-sama bisa melihat pada 8 Agustus 2014, World Health Organization (WHO) telah mengumumkan darurat kesehatan internasional untuk wabah Ebola[4]. Hal ini menjadi perkembangan serius yang pernah dikeluarkan WHO. Memang wabah ini menjadi wabah mematikan bagi penderitanya, dan penularannya pun bisa melalui kontak mata langsung. Namun peristiwa internasional yang terjadi pada 4-6 Agustus 2014. Yang berarti, dua hari sebelum pernyataan WHO tersebut dirilis kepada publik . Telah berlangsung pertemuan yang disebut “US-Africa Summit[5].” Mungkinkah adanya persengkokolan antara Amerika dan WHO untuk mewujudkan skema global baru pada komunitas internasional? Entahlah, yang jelas Sekitar 50 kepala negara atau yang mewakilinya yang ada di Afrika bertemu langsung dengan Presiden Obama. Dalam tiga pertemuan yang mengusung tema “Investing in the Next Generation” tersebut, dibahas beberapa kerjasama antara Amerika dan negara-negara Afrika. Tentu saja disertai dengan  beberapa komitmen pinjaman luar negeri Amerika untuk negara-negara Afrika.
 “Saya tidak memandang negara-negara dan rakyat Afrika sebagai bagian dunia yang terpisah. Saya memandang Afrika sebagai bagian integral dari dunia internasional yang saling berhubungan dan terkait satu sama lain. Merupakan mitra-mitra Amerika atas nama masa depan anak-anak yang kita idam-idamkan. Kemitraan tersebut harus didasarkan pada tanggungjawab dan rasa hormat satu sama lain,” begitu sambutan dari Obama pada US-Africa summit tersebut[6].
Dari kata-kata manis yang dilontarkan Obama seolah tersirat terungkap adanya niat Amerika untuk menguasai Afrika demi kepentingan nasional. Mengingat fakta bahwa Rusia dan Cina sudah lebih dahulu masuk Afrika dengan menjalin kerjasama ekonomi dan politik meskipun tidak sebesar Eropa dan AS.
Dengan merujuk pada sebuah laporan dari The Arms Trade Resource Center yang berjudul “Deadly Legacy: US Arms to Africa and the Congo War, tercatat pada 2000 saja, AS sudah menjual senjatanya ke negara-negara Afrika (Liberia, Somalia, Sudan, dan Zaire) dengan perkiraan total sebesar lebih dari US$ 5 miliar.
Dalam hal ini menurut penulis bukan saja membaca arah kasus darurat virus Ebola dan penanganannya ke depan. Namun kita juga harus melihat kepentingan-kepentingan politik Negara-negara yang terlibat. Apalagi pidato Obama yang menempatkan Rusia dalam daftar acaman terbesar bagi dunia bersama kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) dan wabah Ebola dalam KTT G-20 di Australia. Itu bukan pertama kalinya Obama menyamakan bahaya Rusia dengan ISIS dan virus Ebola. Gorbachev sebelumnya berharap negara-negara di seluruh dunia bisa bersama-sama menghadapi tantangan besar, termasuk teror ISIS, virus Ebola dan ancaman terhadap ekonomi dan lingkungan. Dalam isu-isu kontemporer dunia, dari setiap isu dan masalah yang terjadi tentu adanya motif lain adanya agenda lain yang dipersiapkan Negara-negara yang berkepentingan.
Pada 9 Juli 2004, ada pernyataan pers cukup penting tentang penanganan virus Ebola. Tekmira Pharmaceuticals mendapat bantuan  dari Mosanto untuk melakukan penelitian dan pengembangan virus Ebola sebesar 1,5 miliar dolar Amerika. Namun kemudian ada keterangan pers lain yang dikeluarkan Tekmira yang cukup mengejutkan. Tekmira ternyata sudah tanda tangan kontrak senilai 140 juta dolar Amerika dengan pihak militer Amerika untuk penanganan Ebola.[7]
Namun faktanya, Mosanto sebagai salah satu perusahaan multinasional yang telah dituding banyak kalangan sebagai salah satu aktor politik di balik hancurnya ketahanan pangan di beberapa negara, termasuk Indonesia, telah bekerjasama dengan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) ikut membiayai Tekmira di saat isu Ebola menggemparkan dunia.
Dengan demikian kami membaca merebaknya isu virus Ebola, ada motif atau agenda lain di  balik isu ini. Sepertinya ada rencana geopolitik  besar untuk menekan negara-negara Afrika dengan menggunakan virus Ebola sebagai “pintu masuk” untuk melayani skema penguasaan geopolitik beberapa negara Afrika tersebut di atas.

KESIMPULAN
Ebola dianggap sebagai isu keamanan internasional karena virus ini merupakan virus mematikan dan penyebaran dengan cepat. Gejala dari Ebola hemorrhagic fever (EHV) biasanya dimulai empat hingga 15 hari sesudah seseorang terinfeksi. Rata-rata gejala yang dialami berupa sakit seperti flu, demam tinggi, dan nyeri. Cara penularannya melalui kontak fisik langsung antarmanusia ataupun lewat cairan penderita. Yang terjangkit harus segera diisolasi.
Ebola masuk ke dalam isu keamanan internasional karena dilihat dari dimensi biopolitiknya. Konsep biopolitik sangat erat kaitannya dengan tulisan-tulisan dari Michel Foucault. Foucault mengenalkan tiga konsep untuk melihat kekuasaan modern yang terkait dengan dimensi eksistensi biologis manusia, yaitu biopower, anatamo-politic, dan biopolitics. Jika tujuan biopolitik adalah untuk memaksimalkan kesehatan manusia, maka penyakit tidak bisa dianggap hanya sebagai masalah kesehatan saja. Penyakit harus dikendalikan secara politik, sosial, dan ekonomi yang perlu diselesaikan secara kolektif melalui kebijakan yang komprehensif.
Adakah motif atau agenda lain di  balik virus Ebola yang semakin menyebar? Sepertinya ada rencana geopolitik  besar untuk menekan negara-negara Afrika dengan menggunakan virus Ebola sebagai “pintu masuk” untuk melayani skema penguasaan geopolitik beberapa negara Afrika tersebut di atas. Dengan kebijakan Amerika akan mengirimkan 3.000 pasukan untuk membangun sebuah klinik, mendistribusikan peralatan medis dan melatih pekerja kesehatan. Dan dikaitkan dengan pertemuan “US-Africa Summit” dalam kerjasama itu seolah tersirat terungkap adanya niat Amerika untuk menguasai Afrika demi kepentingan nasional.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...