USAI PERANG DINGIN awal tahun 1990, yang secara simbolik ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin dan pecahnya negara Uni Soviet, maka secara bersamaan di seluruh dunia muncul gerakan demokratisasi (Huntington, 1995). Gelombang demokratisasi ini muncul karena adanya kesadaran yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan tanggung jawab manusia untuk membangun masyarakatnya sendiri yang mengarah pada bentuk kehidupan masyarakat yang lebih mengedepankan keterbukaan, maju, dan modern serta menghindari-bahkan menghilangkan-model masyarakat yang totaliter yang menginjak-injak hak asasi manusia.
Sejak saat itu, gelombang aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan. Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 sehingga negaran-negara di seluruh dunia berdiri sendiri dengan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia. Perkembangan demokratisasi terus menguat pasca perang dingin yang ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet. Hal ini kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun 1990-an.
Pasca perang dingin, isu-isu hubungan internasional bergeser dari high politics issues ke low politics issues, yaitu mengenai isu ekonomi, isu lingkungan hidup, terorisme, perdagangan obat terlarang dan salah satu di antaranya mengenai hak asasi manusia.
Ham dan demokratisasi dapat dimaknai sebuah perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaan. Karena konsep ham dan demokrasilah yang paling menyakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Prinsip demokrasi dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang dihapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan bagi masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak semata-mata untuk kepentingan penguasa. Karena hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Ketika penguasa hanya mementingkan pihaknya maka itu disebut otoriter dan perlakuan seperti itu telah melanggar ham bagi rakyatnya. Hal ini sering terjadi dinegara-negara belahan dunia. Ketika suatu negara menganut sistem demokrasi bagi pemerintahannya. Namun dalam prakteknya, terjadi beberapa pengusaha negara yang otoriter. Misalnya di Libya dengan rezim Muammar Khadafi yang telah memerintah lebih dari 40 tahun semenjak jatuhnya rezim Raja Idris I. karena tindakan korupsi pemimpinnya, pembangunan yang seharusnya terjadi di Libya pun tidak dapat terwujudkan. Padahal sebagai negara penghasil minyak terbesar, Libya mendapat pendapat 52,8% hanya dari penghasilan minyak. Sehingga Kepemimpinan Khadafi yang otoriter menciptakan krisis kepercayaan bagi rakyat Libya. Rakyat suriah menuntut pengunduran diri Presiden Bashar al-Assad, penggulingan pemerintahannya, dan mengakhiri hampir lima dekade pemerintahan Partai Ba'ath. Dengan akhirnya terjadi konflik antara pemerintah dengan pihak oposisi. Bahkan hal ini pun terjadi pada indonesia. Hal ini tercipta pada rezim suharto yang merupakan presiden kedua di indonesia setelah memimpin selama 32 tahun lamanya. Kepemimpinannya menjadi otoriter, dan rakyat berhasu
Il menggulingkannya.
Semua peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
*Dicatat dan digunakan sebagai catatan mata kuliah Pengantar Ilmu Politik Semester 1
Universitas Nasional
18 November 2011