Strategi Konflik, yang Schelling diterbitkan pada tahun 1960, [6] memelopori studi tawar-menawar
dan perilaku strategis dalam apa Schelling sebut sebagai "perilaku
konflik". Hal ini dianggap salah satu dari seratus buku yang telah
paling berpengaruh di Barat sejak tahun 1945. [7] Dalam buku ini ia memperkenalkan
konsep seperti titik fokus dan komitmen yang kredibel . Sebuah judul bab meliputi Reorientasi
Teori Permainan, Randomisasi dari Janji dan Ancaman, dan Serangan
Surprise: Sebuah Studi Distrust Reksa.
Dalam sebuah artikel
merayakan Schelling Hadiah Nobel untuk Ekonomi [8] Michael Kinsley , Washington Post op-ed kolumnis dan mantan murid yang
Schelling, merangkum reorientasi profesor dari teori permainan sebagai berikut:
"[Y] ou're berdiri di tepi jurang, dirantai oleh pergelangan kaki
untuk orang lain Anda akan dibebaskan,. Dan salah satu dari Anda akan
mendapatkan hadiah yang besar, segera setelah lain memberi masuk Bagaimana Anda
membujuk orang lain untuk menyerah, ketika satu-satunya metode yang Anda
inginkan - mengancam akan mendorongnya dari tebing - akan azab Anda berdua
"?
"Jawaban: Anda mulai menari, lebih dekat dan lebih dekat ke tepi
Dengan begitu, Anda tidak perlu meyakinkan dia bahwa Anda akan melakukan
sesuatu yang sama sekali tidak rasional:.. Terjun dia dan diri Anda sendiri
dari tebing Anda hanya perlu meyakinkan dia bahwa Anda siap untuk mengambil
risiko yang lebih tinggi dari dia tanpa sengaja jatuh dari tebing. Jika Anda
dapat melakukan itu, Anda menang. "
John Baylis dan James Wirtz dalam Introduction (2007) membahas mengenai relevansi
strategi, studi strategi dan perkembangannya serta interpretasi strategi dalam
isu-isu kontemporer dari perspektif klasik mengenai strategis. Banyak
definisi mengenai strategi yang kemukakan oleh para ahli. Clausewitz sebagai
the father of strategy menjelaskan strategi sebagai rule of engagement yang seringkali diimplementasikan
dalam medan perang, meskipun strategi menurut Potter lebih mengarah pada segi
bisnis. Beberapa
definisi lainnya yang dituliskan dalam artikel Baylis dan Wirtz adalah definisi
strategi oleh Robert Osgood:
“Strategy must now be understood as nothing less than the
overall plan for utilizing the capacity for armed coercion – in conjunction
with economic, diplomatic, and psychological instrument of power – to support
foreign policy most effectively by overt, covert and tacit means.”
(Baylis&Wirtz,2007:5)
serta definisi strategi menurut Murray dan Grimslay yang
menjelaskan bahwa strategi merupakan sebuah adaptasi yang konstan, dari kondisi
yang berubah, dimana keadaan dunia didominasi oleh perubahan, ketidakpastian
dan ambiguitas. Studi strategis muncul pada awal Perang Dingin sebagai refleksi
akan situasi yang terjadi pada saat itu. Para pemimpin politik dan akademisi
berfokus kepada kondisi dimana perang nuklir antara Amerika Serikat dan Uni
Soviet sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu sehingga dunia dihadapkan pada cara
untuk bertahan dalam keadaan tersebut (Baylis&Wirtz,2007:2).
Untuk menjelaskan keadaan tersebut, konsep balance of power yang dibawa oleh perspektif realis
lebih tepat dibanding ide-ide keamanan kolektif kaum liberalis utopis. Oleh
sebab itulah, pada awal kemunculannya studi strategis banyak didominasi dalam
negara dengan perspektif realisme klasik yang melihat bahwa konflik sebagai
suatu hal yang wajar, bahwa pesimistik adalah karakter alami dari manusia,
kepentingan adalah hal yang menuntun sikap negara, dan keberadaan power negara dalam keadaan yang anarki
sehingga peran hukum internasional, moral dan institusi menjadi terbatas.
Karena itu kaum realis klasik memandang strategi sebagai jalan untuk mengatasi
ancaman konflik yang sedang berlangsung dengan meminimalisasi kemungkinan
terjadinya kekerasan internasional.
Dengan berakhirnya Perang Dingin, studi strategis yang
pada mulanya banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep keamanan realisme mendapat
tantangan ketika banyak ide-ide liberalisme diterapkan dalam proses perumusan
kebijakan, dan sektor militer tidak lagi dilihat sebagai suatu hal dominan dan
syarat utama terciptanya keamanan yang bergeser ke sektor ekonomi, politik dan
lingkungan. Militer, keamanan dan studi strategis yang berkembang pada mulanya
dikritik sebagai bentuk penekanan oleh pemerintah dan militer untuk tetap
menyuarakan perang (keeping the war alive) sebagai bentuk
kepentingannya dalam karir dan penghasilannya (Baylis&Wirtz,2007:3).
Gray (1999) mendefinisikan strategi sebagai
aplikasi kekuatan militer untuk mencapai tujuan politik atau lebih spesifiknya
sebagai teori dan praktek penggunaan (use) dan ancaman penggunaan
kekuatan terorganisir untuk tujuan politik (Gray,1999 dalam
Baylis&Wirtz,2007:6). Tahun 1970-an beberapa scholarslain juga mengaitkan
studi strategis dengan hal-hal ekonomi seperti Thomas Schelling dan Bernard
Brodie yang menjelaskan strategi dari segi politik bahkan mengemukakan bahwa
studi strategis harus dipelajari secara ilmiah (scientific) dengan
pendekatan ekonomi yang dilihat sebagai instrumen sains untuk menyelesaikan
masalah praktis. Tahun 1980-an terjadi sebuah perbedaan ketika operasionalisasi
militer tidak disertakan dalam analisa strategi (Baylis,2007:6). Hal ini
berarti bahwa studi strategis merupakan suatu studi yang mencakup beberapa
sektor penting (interdisipliner) tanpa mengurangi atau meninggalkan salah satu
aspeknya (politik, ekonomi, militer, sosial, moral,dsb) agar tujuan yang
diinginkan tersebut tercapai. Dengan kata lain, studi strategis merupakan studi
yang bersifat pragmatis tetapi juga praktis.
Gray (1982) dalam Baylis (2007) menyebutkan ada beberapa
kritik terhadap studi strategis pada mulanya yang hanya tertuju pada bahasan
mengenai konflik dan kekerasan. Kritik kedua adalah mengenai netralitas moral
yang seolah dingin terhadap keamanan manusia dan pendekatan yang dilakukan
dianggap mengabaikan kesempatan untuk terjadinya perdamaian. Kritik ketiga
adalah tidak adanya solusi karena kekerasan menurut pandangan realis yang
mendasari strategi pada saat itu dianggap mensahkan tindakan elit politik
Jawaban dari penstudi saat itu sebagai bentuk refleksi dari kondisi yang
ada. Kajian tentang keamanan yang menjadi kritik bagi realis pada tahun 1990an
menyebabkan redupnya studi strategis itu sendiri dan mempopulerkan studi
keamanan karena studi mengenai keamanan memiliki cakupan yang lebih luas dan
tidak terpaku pada bidang militer saja, tetapi juga nature dari keamanan itu sendiri dan
instrumenpower yang
dijadikan sebagai alat strategis pada era Perang Dingin tidak lagi dianggap
sebagai syarat mutlak bagi kondisi yang aman. Ini menunjukkan bahwa studi
keamanan lebih multidisipliner. Namun disisi lain pendukung perspektif realisme
masih tetap melihat bahwa militer merupakan aspek signifikan dalam politik
dunia. Hubungan antara keduanya menurut kelompok kami ialah bahwa studi
keamanan merupakan bagian dari studi strategis, karena keamanan internasional
membutuhkan banyak aspek yang interdisipliner tidak hanya militer saja (pada
Perang Dingin) tetapi juga aman dalam sektor politik, ekonomi, lingkungan yang
muncul pada pasca Perang Dingin (Baylis,2007:12). Apabila studi strategis
diubah menjadi studi mengenai keamanan akan berdampak pada luasnya kajian dari
studi strategis itu sendiri.
Beberapa peristiwa seperti 9/11 dan Perang Teluk membuktikan bahwa studi
strategis masih dibutuhkan hingga sekarang mengingat dua peristiwa diatas
memiliki kemiripan dengan awal mula studi strategis itu muncul. Dengan kata
lain perdamaian yang dibawa oleh perspektif liberalis mengenai perpetual peace terkesan utopis namun nilai-nilai
kerjasama bersama memang sesuai dengan kondisi yang terjadi. Situasi ini banyak
melemahkan dasar studi strategis awal dengan realisme klasik. Jika Baylis dan
Wirtz menyamakan seorang strategis dengan seorang realis serta kritik-kritik yang
dikemukakannya, maka seiring dengan perkembangan yang terjadi akan konsep
keamanan yang menurut artikel ini dianggap sebagai hal inti awal mula studi
strategis itu muncul sebaiknya studi strategis tidak disamakan dengan
asumsi-asumsi dasar realis dan seorang strategis bukanlah seorang realis
meski perkembangan awal tersebut berawal dari realisme. Studi strategis
diharapkan menjadi studi yang benar-benar dapat mencakup hal-hal di luar
militer dan politik karena sifat strategis itu sendiri umum. Selain itu,
tingkat fleksibilitas untuk menempatkan pada situasi dan kondisi apa dia
berkembang tanpa melihat salah satu aspek saja. Contoh paling mudah ialah
strategi manajemen yang diambil dari aspek ekonomi bisnis, jika studi strategis
seperti apa yang diceritakan Baylis ketika Perang Dingin, maka ide-ide
strategis Potter dalam hal bisnis tidak layak untuk berkembang menjadi studi
strategis dan kurang strategis. Dan terakhir, kita strategi memiliki grand
strategy yang dapat dikatakan sebagai kebijakan, maka fleksibilitas dan tidak
terpaku pada salah satu aspek saja akan membuahkan kebijakan yang efektif.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan Baylis dan Writz dalam artikel
mereka mengenai strategi adalah bahwa strategi pada mulanya amat dekat dengan
studi-studi klasik seperti realis dan liberalis. Realis menempati posisi yang
dominan dalam perspektif mengenai strategi, banyak penulis dan pemikir
mengaitkan eratnya konsep-konsep dasar realisme klasik dalam studi strategis
untuk mendefinisikan pergolakan dalam keadaan internasional, walaupun kemudian
banyak kritik yang timbul akan pengaitan konsep realis, dimana konsep liberal
kasik sebenarnya juga memberikan pengaruhnya dalam studi strategis yang
sebenarnya tidak hanya berpusat pada masalah internasional serta perang dan
damai, namun juga dalam aspek lainnya seperti strategi ekonomi dan perdagangan.
Referensi :
Baylis, John & J.J. Wirtz. 2007. “Introduction”,
dalam John Baylis et.al(ed), Strategy
in the Contemporary World. Oxford University Press., pp 1-15
http://fellinkinanti-fisip10.web.unair.ac.id/artikel_detail-43065-Strategi%20&%20Tata%20Kelola%20Strategis-Evolving%20Study%20of%20Strategy.html
*Disusun dan digunakan sebagai referensi tugas mata kuliah Metodologi Hubungan Internasional