Bulan Ramadhan tahun itu berbeda dengan tahun sebelumnya. Bulan itu keluargaku disibukkan
untuk menjaga ayah yang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Ibu dan kakak-kakakku
bergantian menjaga dan merawat ayah. Usiaku saat itu memang masih terbilang 7
tahun. Yah memang masih kecil,
bahkan setiap menjenguk ayah aku masih sibuk main-main mengelilingi rumah sakit. Akupun belum begitu mengerti apa
yang ayah alami, yang aku tahu ayah hanya sakit biasa.
Sudah berbulan-bulan ayah menginap di
rumah sakit. Tetapi tak ada tanda sedikitpun ia akan pulih. Seketika ku menoleh
ke arah ayah. Tidak ada senyuman yang menyambut. Ayah hanya tertidur kaku tak
sedikitpun bergerak. Ayah terlihat lemah, sampai kulitnya memucat dan menggelambir
diatas wajahnya. Hari ini sudah H - 3 artinya tiga hari
lagi menyambut hari Raya Idul Fitri. Tetapi ada yang berbeda dihari ini. Dini
hari menjelang sahur, telepon rumah berdering. Mang Jip, pamanku disebrang sana
menelepon dari rumah sakit. Setelah terjadi percakapan, ibu menutup telepon
dengan raut wajah yang bingung. Kali ini tak ada jawaban yang ibu
keluarkan. Ibu langsung bergegas memberi tau kakak-kakakku. Aku ikut bersama ibu dan
beberapa kakakku. Mobil yang kami tumpangi menuju rumah sakit tempat ayah
dirawat. Saat memasuki kamar dimana ayah dirawat, tak ada yang berbeda wajah ayah yang begitu sayu namun badannya tetap kekar. Saat itu ayah minta dipulang atau dipindah kan dari rumah sakit Tangerang, karena di RS itu perawatannya kurang baik. Karena menjelang Lebaran, banyak dokter yang tidak ditempat dan hanya ditangani oleh perawat saja.
Saat itu, ayah bersikukuh untuk pulang padahal dokter tidak meyarankannya. Akhirnya Ibu membawa ayah pulang dengan alasan ingin memindahkan Rumah sakitnya. Aku senang kukira ayah sudah pulih, akhirnya di bulan Ramadhan itu kami bisa berkumpul lagi pikirku. Senang, dan sangat senang sekali. Akhirnya aku bisa merayakan malam takbiran jalan-jalan dengan ayah. Kulihat wajah ayah tersenyum selama perjalanan memandangiku penuh arti. Setelah subuh ayah sudah sampai dirumah.
Sekitar jam 7an Ibu memindahkan ayah ke salah satu RS di Jakarta. Seperti diRS sebelumnya, ayah tetap tidak ingin dirawat. Padahal dokter sudah memasangkan selang pernapasan aau oksigen di hidungnya. Namun dengan sikap keras kepalanya ayah, akhirnya ayah nekat berdiri turun dari ranjang dan ingin jalan keluar kamar. Belum tegak berdiri dan belum sempat melangkah, tiba-tiba tubuhnya rapuh dan jatuh terbaring diatas lantai. Entah apa yang terjadi, kondisi ayah kritis dan setengah jam kemudian dokter memutuskan bahwa AYAH TELAH TIADA.
Sekitar jam 11an kakak dapat kabar dari RS aku tidak tahu pastinya, karna saat itu aku sedang tidur siang sama seperti anak-anak kecil lainnya. Yang aku tau, saat aku terbangun karena suara gemuruh yang bersumber di ruang tamu. Kaki ku melangkah perlahan menyusuri tembok menuju ruang tamu dengan ketakutan. Ada apakah gerangan? kenapa bising sekali? ada suara tangsan, ada suara teriakan, dan ada suara orang banyak. Aku Takut. Kuberdiri dibelakang tirai dengan mengintip perlahan. Yang kulihat banyak orang yang sedang merapihkan kursi-kursi dan mengganinya dengan karpet. sedangkan kakak-kakak mengamuk diatas lantai dengan menangis tersedu-sedu. Kenapa banyak orang disini? kenapa kakak2 pada ngamuk? ada apa ini? apa yang terjadi? Salah satu pamanku menanyaiku dan mendekatiku mencoba merangkul dan menggendongku. Perlahan dia menjelaskan bahwa ayah sudah tiada. Aku masih tidak mengerti, ayah pergi kemana emang?
Beberapa jam kemudian suara ambulance terdengar mendekati rumahku. Terlihat ibuku dan kakak-kakaku yang mengantar ayah tadi. Ibu langsung menggendong dan memelukku dengan menangis tersedu-sedu. Aku yang tak mengerti apa yang terjadi, dengan polosnya tak ada airmatapun yang keluar. Setelah ku pandang apa yang digotong orang-orang dari ambulance, air mataku mulai turun. siapa itu? bukankah itu ayah?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ayah adalah sosok yang sempurna untukku. Seperti burung elang yang terbang tinggi di udara. Gagah, tegas, dan penyayang. Badannya yang kekar sebagai tempatku bergelayut manja. Dadanya yang bidang sebagai tempat tangisku dalam pelukkannya. Kata ibu ayah sudah berusia 50 tahunan, tapi bagiku dia masih cukup muda yang belum genap 30 tahun. Ayah sangat adil dan bijaksana bagi keluarganya. Saat aku ribut dengan kakak sebelum aku, bukannya aku yang dibela, tapi ayah memilih untuk memarahi keduanya. Kata kakak banyak pelajaran yang diajarkan oleh ayah. Tapi sayangnya aku tidak merasakan sepenuhnya. Dan sekarang Elang Gagahku Telah Pergi.... untuk selamanya....
Saat ini usiaku sudah 23 tahun ku sudah besar dan aku sudah dewasa sekarang ayah. 14 tahun sudah ayah meninggalkanku. Tidak ada yang dapat aku perbuat untuk mebahagiakanmu, mungkin hanya doa yang dapat aku berikan. Semoga engkau selalu disisi ALLAH SWT. Aku tau, Allah memanggilmu dulu karna Allah sayang padamu. Aku rindu Ayah....
Salam Rindu dariku. Aku sayang Ayah....
Aku sedikit kecewa dengan keadaan ayah
saat itu. Sebelum ayah terbaring lemah, ayah belum sempat membelikan baju dan
sepatu baru untukku. Yah memang sudang keinginan anak-anak seusiaku untuk
menyambut hari Raya. Janji ayah jika sempurna puasaku, ayah akan membelikan
sepeda baru untukku. Tapi kenapa ayah pergi duluan? Benarkah ayah takkan kembali lagi? Kata anak usia 7 tahun.
Jakarta, 11 Febuari 2016