Laman

 photo tabfashion.png photo tabtumblr.png photo tabtutorial.png
 photo tabtutorial.png

PENDEKATAN NEOKLASIK


1.      MUNCULNYA ALIRAN NEOKLASIK

Aliran Neoklasik secara sederhana dibedakan atas dua generasi, yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi pertama banyak memperbaiki teori-teori ekonomi klasik, tetapi umumnya mereka masih percaya bahwa dipasar berlaku prinsip pasar persaingan sempurna dan bahwa perekonomian selalu menuju pada keseimbangan. Sedangkan kelompok generasi kedua, memiliki pandangan tersendiri tentang pasar. Mereka umumnya menolak pandangan prinsip pasar persaingan sempurna yang dikembangkan oleh Adam Smith, sebab dalam kehidupan nyata mereka menyaksikan banyak asumsi-asumsi kaum klasik yang terlanggar karena banyak factor yang menyebabkan pasar tidak beroperasi sempurna.
                                                                                   
a.    Neoklasik Generasi Pertama
Kelompok ekonomi Neoklasik generasi pertama bisa dibedakan lagi  atas dua kelompok, yaitu:
1)    Kelompok ekonomi Austria (The Classical Liberal Perspectives)
2)    Kelompok ekonomi Cambridge ( The Modern Liberal Perspective)
Kelompok pertama disebut kelompok Ekonomi Austria karena hampir semua pendukungnya seperti Carl Manger, Friedlich von Wieser, dan Eugen von Bohm Bawer berasal dari Austria. Pakar-pakar Neoklasik yang tergabung dalam kelompok ekonomi Austria ini sangat berjasa mengembangkan teknik-teknik matematika, terutama kalkulus. Dari tangan merekalah lahir konsep-konsep marginal utility, marginal revenue, the law of diminishing return, dan sebagainya yang sarat dengan hitungan-hitungan matematis. Sejak munculnya teori “marginal revolution” yang dikembangkan oleh pakar-pakar Neoklasik dari mazhab Austria tersebut, pembahasan ekonomi lebih bersifat mikro. Karena ilmu ekonomi ditangan pakar-pakar Neoklasik mengalami perkembangan yang pesat melebihi perkembangan legislasi, hal ini memeksa diceraikannya politik dari ilmu yang semula disebut ekonomi politik. Lebih tepat, oleh pakar-pakar ekonomi Neoklasik istilah “political” dihilangkan dari “political economy”, dan yang tinggal hanya “ilmu ekonomi” ( “economics”) sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri.



Ilmu ekonomi mengalami perkembangan yang sangat pesat ditangan pakar-pakar Neoklasik generasi pertama dari Austria ini, dan dari segi analisis juga terdapat perbedaan yang sangat tajam antara aliran ekonimi Liberal Klasik dengan aliran Neoklasik. Kalau ekonomi Liberal Klasik banyak menggunakan istilah-istilah normatif seperti nilai, kesejahteraan dan utilitas berdasarkan asumsi berlakunya hukum alami, pakar-pakar ekonomi Neoklasik menjadikan ekonomi sebagai “ilmu murni” yang sarat dengan perhitugan-perhitungan matematika dan “ilmu positif”, yang menghindari value judgements, public advocacy, dan faktor-faktor nonekonomi lainnya dalam analisis.
Adapun kelompok kedua digolongkan didalam Ekonomi Cambridge karena para pendirinya seperti Alfred Marshall dan kebanyakan pendukungnya kebanyakan berasal dari university of Cambridge.
Walaupun Marshall memiliki peran besar dalam perkembangan ilmu ekonomi, pendekatan yang digunakan Marshall sedikit berbeda dari pendekatan pakar-pakar ekonomi lain. Perbedaan yang mencolok antara Marshall dengan ekonomi-ekonomi lain dari mazhab Austria yang pada umumnya “tegar” ialah Marshall lebih memperhatikan nasib kaum papa. Bagi Marshall, ilmu ekonomi politik adalah sarana untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat dan bahkan juga sebagai motor untuk mengungkap kebenaran (an engine for the discovery of truth) dengan mengatasi kemiskinan dan kemelaratan.
b.    Neoklasik Generasi Kedua
Pada tahun 30-an, muncul pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua, di antaranya Piero Srafa, Joan Violet Robinson, dan Edward Chamberlin. Kalau pakar-pakar ekonomi Klasik mengansumsikan pasar persaingan sempurna, pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua justru mengansumsikan pasar persaingan tidak sempurna, bisa berbentuk kompetisi monopoli, oligopoly, atau monopoli. Ketidaksempunaan pasar timbul karena asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna seperti banyak pembeli dan penjual, produk homogen, perusahaan bebas keluar masuk pasar, informasi sempurna, dan sebagainya terlanggar. Kalau ada asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna yang terlanggar, berarti pasar tidak lagi beroperasi dalam pasar persaingan sempurna, melainkan dalam pasar persaingan tidak sempurna.



Perbedaan dalam cara pandang tentang pasar inilah yang membedakan ekonomi Neoklasik dengan ekonomi Klasik. Dalam model pasar persaingan sempurna, jumlah pembeli dan penjual banyak, dan masing-masing pelaku ekonomi, baik konsumen maupun produsen atau perusahaan tidak mempunyai daya untuk mempengaruhi harga-harga yang terbentuk dipasar. Namun, dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual terbesr. Apalagi dalam pasar monopoli, hanya terdapat satu perusahaan yang menguasai seluruk permintaan konsumen. Makin sedikit jumlah perusahaan, makin tinggi kapasitas untuk memeperoleh keuntungan ekonomi dengan mempengaruhi harga-harga dan output dipasar.
Apa implikasi dari kenyataan bahwa pasar tidak berperilaku sesuai asumsi pasar persaingan sempurna tersebut ? Bagi pemikir-pemikir Neoklasik, hal ini membuka peluang bagi tindakan politik, dimana pemerinta perlu ikut campur “mengoreksi” ketidaksempurnaan yang terjadi dipasar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa walaupun pakar-pakar ekonomi Neokalasik menganggap perlunya campur tangan pemerintah, pada awalnya mereka tidak membahas tentang peran redistribusi, kemiskinan, kesenjangan sosial, pendidikan, kesehatan, atau isu-isu tentang lingkungan, melainkan hanya berupaya untuk membawa perekonomian kearah ideal seperti yang mungkin dicapai dalam kondisi pasar yang berfungsi sempurna. Tegasnya campur tangan pemerintah hanya dalam proses dan keputusan politik untuk memperbaiki pasar.
Jadi, walau banyak faktor yang menyebabkan pasar tidak bsa menjalankan fungsinya dengan sempurna, para pemikir Neoklasik lebih banyak membahas persoalan eksternalitas, barang public, dan pasar persaingan tidak sempurna secara umum. Soal perlunya campur tangan untuk mengatasi masalah-masalah sosial lain seperti pemberantasan kemiskinan, redistribusi pendapatan, mengatasi kesenjangan sosial, memajukan pendidikan, serta memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat dan sejenisnya sama sekali tidak dibahas.
Untuk menghadapi masalah eksternalitas, proses politik dapat digunakan dalam mengoreksi defisiensi pasar dengan mengupayakan agar biaya-biaya dan penerimaan privat (privat cost and revenues) mendekati biaya-biaya dan penerimaan sosial (social cost and revenues). Cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah, antara lain melarang aktivitas yang menimbulkan eksternalitas itu sendiri, atau menetapkan pajak (untuk aktivitas yang menimbulkan eksternalitas negatif).
Begitu juga untuk menghadapi masalah barang publik, yaitu barang yang sekali diproduksi tidak bisa dibatasi pengonsumsiannya pada seseorang atas sekelompok orang tertentu (seperti jalan, mercusuar), pemerintah terpaksa mengambil alih pengadaannya sebab pihak swasta tidak tertarik untuk memproduksinya karena orang cenderung bertindak sebagain “pembonceng” (free-rider).
Tujuan utama perusahaan adalah laba maksimum. Makin besar keuntungan perusahaan untuk mempengaruhi harga-harga dan output, makin tinggi laba ekonomi yang dicapai. Perusahaan akan menggunakan berbagai macam cara untuk memperoleh laba, seperti  berupaya memonopoli sumber bahan mentah strategis ; menguasai teknologi (produksi, desain, pemasaran), atau menguasai sumber modal dan financial untuk kelompok sendiri.
c.    Focus perhatian

Focus perhatian perspektif ekonomi politik Neoklasik lebih ditekankan pada perilaku para penyelenggara negara (state actors) dan aktor dari kalangan masyarakat (society actors) baik dalam proses pengambilan keputusan kebijaksanaan public, maupun implementasi kebijaksanaan itu sendiri. Menurut Grindle (1989), teori-teori ekonomi politik Neoklasik dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1.    Pendekatan Terpusat ke Masyarakat
Model analisis ini terpusat ke masyarakat yang lebih focus pada penggunaan pasar-pasar politik oleh agen-agen ekonomi.salah satu diantaranya yang paling popular adalah model masyarakat pemburu rente (rent seeking society model). Yang menjadi basis ataupun objek utama analisis adalah individu pribadi. Individu diasumsikan sebagai makhluk rasional yang berusaha memaksimumkan berbagai sumber daya guna menghimpun kekayaan.
Konsekuensi dari model ini ialah bahwa sulit membatasi individu memanfaatkan interaksi ekonomi untuk mencapai kepentingan pribadi, bahkan sulit juga membatasi individu memanfaatkan pemerintah guna meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi mereka.
Dalam model ini, politik dilihat sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Bisa dilakukan melalui pemberian suara pada pemilu maupun berbagai lobi untuk mencapai tujuannya tersebut. Tetapi, konsep lobi oleh kelompok kepentingan tidak mungkin diperoleh melalui mekanisme pasar. Konsekuensinya, makin banyak lobi dilakukan, makin tinggi campur tangan pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Melalui model ini, sumber-sumber ekonomi hanya dimiliki dan dinikmati oleh pelaku-pelaku ekonomi yang dekat dengan kekuasaan. Karena, kepentingan ekonomi dan kepentingan politik telah menyatu dalam format kolusi ekonomi, di mana kekuasaan menjadi medium yang subur sebagai alat “bagi-bagi rejeki” oleh segelintir orang.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam model masyarakat pemburu rente karakteristik utama kehidupan politik adalah persaingan antar kelompok kepentingan untuk mendapatkan akses terhadap perolehan keuntungan dan sumber daya yang dikuasai dan dialokasikan oleh pemerintah.
  1. Pendekatan Terpusat ke Negara

Pendekatan terpusat ke negara dilandaskan pada asumsi bahwa negara punya agenda sendiri dalam hubungannya dengan masyarakat.dalam analisi ekonomi politik Neoklasik, ekonomi tidak beroperasi secara bebas dalam ruang hampa, tetapi ada keseimbangan antara pasar dan negara, dimana negara ikut menetukan bagaimana ekonomi beroperasi. Artinya, dalam perspektif ini, negara berperan lebih aktif.
            Negara punya kemampuan untuk mengejar dan menentukan agenda yang tidak ditentukan oleh kepentingan privat. Ini yang disebut otonomi negara, yaitu adanya kemampuan negara untuk bertindak bebas dan tidak ditentukan atau dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
            Konsep otonomi negara berarti bahwa negara bisa bertindak independent dengan tidak ditentukan atau dipengaruhi unsur lain. Sehubung dengan otonomi negara ini, terdapat tiga pandangan yaitu:
a.    Bahwa negara berhasil menghadapi tekanan dari masyarakat dan mentranslasikan keinginan sendiri ke dalam kebijakan public.
  1. Bahwa tindalan negara tidak didikte atau dikontrol oleh kelompok manapun.
  2. Bahwa negara memiliki kapasitas untuk menolak tekanan dari pihak luar.

Dalam pendekatan ini, focus perhatian dititikberatkan pada mekanisme penyelenggaraan negara. Adapun yang menjadi objek analisis adalah para politikus, birokrat, dan negara itu sendiri. Sesuai objek tersebut maka ada tiga jenis model analisis, yaitu:
a.    Power Seeking Politicians
Perlu dijelaskan bahwa semua konsep tentang kekuasaan ada hubungannya dengan tujuan dan kepentingan.Jika kepentingan bisa dilihat secara jelas oleh agen (artinya si agen atau politikus tadi secara sadar menegejar kepentingannya),maka ia disebut keinginan (wants),kesukaan atau preferensi (preference) atau tujuan (interest).
Selain dalam neara,kekuasaan juga bisa muncul dalam perusahaan,di antara perusahaan,dalam rumah tangga,di sekolah atau dalam kelompok-kelompok keagamaan.Bedanya,penggunaan kekuasaan oleh selain Negara adalah untuk mengejar kepentingan privat,sedangkan penggunaan kekuasaan oleh Negara adalah untuk kepentingan public.Penggunaan kekuasaan oleh selain Negara tidak mesti (secara langsung) melibatkan perjuangan politik atas instrument-instrumen dalam institusi-institusi kekuasaan (pemerintah).
Penggunaan kekuasaan untuk mencapai yang diinginkan,mungkin ada resistensi atau perlawanan,baik dari alam,orang-orang atau dai institusi-institusi social.Bahkan secara psikologis mungkin juga ada resistensi dari diri sendiri.Elemen resistensi ini sangat penting dalam mendefinisikan kekuasaan.Dalam economy dan society (1978),Max Weber mendefinisikan kekuasaan sebagai: “The Probability that an actor in a social relationship will be in a position to carry out his own will despite resistance,regardless of the basis on which this probability rests”.Bagaimanapun,seorang politikus bisa saja memanipulasi kekuasaan untuk menyingkirkan resistensi atau perlawanan dari pihak lain.
Kekuasaan bisa diinterprestasikan sebagai kemampuan untuk memperoleh keinginan.Untuk memperoleh keinginan,harus dilakukan sesuatu untuk mempengaruhi,dan dengan demikian juga,mengubah keadaan.Rayuan (persuation) dan bujukan (inducement) juga dapat dikualifikasikan sebagai kekuasaan.
Menurut Caporaso dan Levine (1993),ada tiga jenis kekuasaan,yaitu kekuasaan untuk menjamin pencapaian hasil atas alam melalui pengembangan energy fisik atau teknologi canggih agar lebih cepat/efisien dalam mencapai tujuan;kekuasaan atas orang lain,yang bisa dilakukan dengan menaikan insentif (membujuk) atau dengan mengancam;kekuasaan bersama-sama dengan orang lain.
Orang sering tidak berhasil mencapai keinginannya jika ia bekerja secara sendiri-sendiri.Untuk itu ia mungkin perlu melakukan kerja sama atau kolaborasi dengan pihak lain.Kolaborasi mungkin sifatnya sementara atau bisa dilembagakan.Tanpa kehadiran institusi bisa menyebabkan terhalangnya pencapaian tujuan.Dalam hal ini kemampuan untuk membentuk institusi yang lebih berdaya untuk mencapai apa yang diinginkan inilah yang tergolong ke dalam komponen kekuasaan dengan orang yang lainnya.
Dalam model analisis Power Seeking Politicians,diasumsikan bahwa para politikus adalah makhluk rasional yang memperhitungkan laba rugi dalam setiap keputusan atau kebijakan yang diambilnya.Kepentingan utama para politikus pada umumnya adalah untuk mempertahankan,dan kalau dapat meningkatkan kekuasaan yang ada di tangannya.Untuk memperoleh kekuasaan,biasanya para politikus menggunakan sumber daya milik pemerintah yang ada dalam kekuasaannya untuk “dihadiahkan” kepada para pendukungnya,dan menghukum mereka yang mengganggu dan menginginkan ia turun dari kursi kekuasaannya.
Maka politikus pada umumnya kurang reaktif terhadap tekanan kelompok kepentingan dan sebaliknya lebih aktif berusaha memaksimumkan kesempatannya untuk tetap memegang kekuasaan dengan menggabung koalisi-koalisi pendukung dan menggunakan sumber daya milik public untuk “membeli” dukungan.
b.    Rent Seeking Bureaucrats
Model terpusat ke Negara berikutnya adalah model birokrat pemburu rente (Rent Seeking Bureucrates),yang focus perhatiannya adalah perilaku para birokrat dalam kapasitasnya sebagai perangkat pelaksana administrasi Negara.Seperti yang sudah disinggung waktu menjelaskan teori perilaku birokrat,para birokrat adalah manusia biasa yang memiliki emosi dan tata nilai serta mempunyai seperangkat tujuan pribadi yang tidak selamanya sesuai dengan tujuan birokrasi (organisasi).Ini berarti bahwa campur tangan pemerintah tidak selamanya didorong untuk melayani kepentingan public,tetapi di sana sini bisa saja diarahkan untuk kepentingan individu,perusahaan atau golongan tertentu.
Menurut Bates (1994),jika institusi politik relative otonom dari ekonomi,mereka cenderung akan menciptakan insentif bagi diri mereka sendiri.Ini menjelaskan mengapa politikus yang rasional lebih menyukai kebijakan-kebijakan yang mendistorsi pasar.Jika pemerintah mampu menggeser harga-harga menjauh dari posisi harga keseimbangan,maka aka nada kesenjangan antara permintaan dengan penawaran,dan dalam situasi seperti ini pejabat yang mempunyai wewenang mengontrol pasar bisa “bermain” untuk memperoleh kepentingannya sendiri.
Selain untuk mengejar kepentingan pribadi,campur tangan pemerintah di pasar juga dapat digunakan untuk menciptakan kemampuan untuk membentuk jaringan patron-klien atau menciptakan apa yang disebut “political machine”.Lewat control pasar,pejabat pemerintah dapat mengorganisir kelompok-kelompok pendukung fanatic yang memiliki komoditas-komoditas berharga yang sekarang menjadi langka karena kebijakan pemerintah.Inilah sebabnya mengapa politikus lebih memilih strategi intervensi pasar ketimbang memilih strategi pasar bebas.Walau masyarakat lebih sejahtera dalam pasar bebas,tetapi potensi ini terhalang karena tidak banyak tuntutan politik agar pemerintah enyah dari pasar.
Dalam ekonomi politik neoklasik,individu-individu termasuk politikus diasumsikan rasional.Melalui asumsi ini,kita juga bisa menjelaskan mengapa politikus tidak mendukung strategi ekonomi pasar bebas.Permasalahanya,kebanyakan politikus yang rasional cenderung enggan menghadapi resiko.Apalagi karena gaji mereka pada umumnya rendah maka mereka lebih menyukai adanya “penghasilan sampingan” yang lebih pasti dari pasar yang diregulasi dibandingkan penghasilan yang mungkin lebih besar namun kurang pasti jika pasar dideregulasi.Jadi,walaupun para pejabat itu menyadari bahwa kondisi mereka akan lebih baik di bawah sistem pasar bebas,tetapi rasionalitas jangka pendek mereka akan mendorong untuk tidak memaksa pemerintah keluar dari pasar.Karena pasar bebas adalah semacam barang-barang public,tiap politikus yang rasional lebih memilih sebagai pembonceng gratis dan membiarkan orang lain yang menanggung biaya-biaya tindakan politisi,sementara ia sendiri tetap bisa menikmati keuntungan ekonomi jangka pendek untuk diri sendiri (Bates,1994).
Secara umum,bentuk kepentingan pribadi birokrat adalah akumulasi keuntungan ekonomi jangka pendek,walau dalam banyak kasus birokrat juga berkepentingan mempertahankan dan meningkatkan jabatan,atau tujuan-tujuan lainnya.Birokrat akan memanfaatkan sumber daya (berupa kebijaksanaan) untuk memkasimumkan kepentingan pribadi baik dengan “menjual” kebijaksanaan tersebut pada penawar dengan harga tertinggi,atau menagalokasikan sumber daya tersebut pada pihak-pihak yang disukainya.Jadi,apa yang kita kenal dengan istilah KKN (Korupsi kolusi dan Nepotisme) dapat dipahami sebagai hasil dari pasar nonekonomi yang berfungsi lewat alokasi sumber daya birokratis.
Model birokrat pemburu rente ini sudah biasa diterapkan oleh para birokrat dalam berbagai kebijakan public di tanah air.Di tingkat pusat,penggunaan model birokrat pemburu rente ini sangat menonjol digunakan pada tahun-tahun terakhir pemerintahan soeharto.Orang banyak yang bingung apakah berbagai kebijakan yang dilakukannya bersifat politis atau dilatabelakangi oleh motif untuk mengeruk keuntungan pribadi,anak dan keluarganya.
c.    Predatory State
Varian ketiga dari pendekatan terpusat ke Negara adalah model analisis Negara pemangsa (predatory state).Yang menjadi focus perhatian dalam analisis pendekatan Negara pemangsa ini adalah Negara itu sendiri.Jelasnya,dalam model analisis ini Negara dianggap sebagai actor rasional yang berusaha memaksimumkan penerimaan jangka pendek.
Dalam upaya memaksimumkan penerimaan Negara jangka pendek,Negara akan mencari bentuk-bentuk kebijaksanaan perpajakan yang akan meningkatkan penerimaan Negara.Selain itu,Negara juga dapat mengenakan bea ekspor-impor,mendevaluasi nilai tukar uang dalam negeri,bahkan juga mempertahankan birokrasi yang tidak efisien.Pendeknya,segala macam cara akan dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Negara dalam jangka pendek,walau hal ini dapat merugikan pembangunan ekonomi secara keseluruhan dalam jangka panjang.Seperti yang diungkapkan oleh Killick (1988),Negara predator yang bertindak rasional untuk mempertahankan kekuasaannya mau menjalankan strategi-strategi pembangunan yang secara ekonomi sebetulnya adalah tidak rasional.
  1. RUJUKNYA KEMBALI EKONOMI DENGAN POLITIK
Di dalam pendekatan neoklasik, pakar- pakar ekonomi politik menganggap bahwa ekonomi sebagai suatu sistem yang terpisah dari politik. Meskipun begitu mereka percaya pada realitas dan fenomena kolektif. Perspektif ekonomi politik neoklasik justru lebih menekankan pada peran pemerintah untuk mengoreksi berbagai kegagalan pasar. Sedangkan, peran politik negara dalam ekonomi politik Neoklasik justru diperlukan untuk mengantisipasi penggunaan kekuasaan yang terlalu besar di tangan perusahaan terutama dalam pasar monopoli, maupun penggunaan kekuasaan oleh aparat dan birokrat dalam menjalankan pemerintahan.
Campur tangan pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan beberapa masalah yang tidak bisa diatasi oleh pasar. Akan tetapi, kenyataannya campur tangan pemerintah ini justru menimbulkan persoalan baru sebab, dalam melakukan aktivitasnya, para penyelenggara negara ternyata punya kepentingan masing – masing. Hal ini terlihat bahwa dalam menjalankan tugasnya, para penyelenggara negara melakukan hitung – hitungan untung rugi. Jika sebelumnya pakar ekonomi Neoklasik generasi pertama  berhasil mengembangkan kalkulus untuk memaksimumkan kesejahteraan pelaku ekonomi, maka pakar ekonomi politik Neoklasik justru menyaksikan penerapan “kalkulus” dalam politik.
Ternyata, cerai dan rujuknya ilmu ekonomi dengan ilmu politik ada kaitannya dengan kalkulus. Dalam literatur perkembangan pemikiran – pemikiran ekonomi, kemajuan ilmu ekonomi tersebut, justru berkat bantuan kalkulus yang telah membuat ilmu ekonomi dan politik bercerai, dan memunculkan ilmu ekonomi sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Sebaliknya, dalam literatur ekonomi politik , “penerapan” kalkulus dalam politik justru membuktikan bahwa ilmu ekonomi dan ilmu politik kembali bersatu.


 *Digunakan sebagai catatan mata Kuliah Ekonomi Politik

0 komentar:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...