1.
MUNCULNYA
ALIRAN NEOKLASIK
Aliran Neoklasik secara sederhana dibedakan atas dua
generasi, yaitu generasi pertama dan generasi kedua. Pakar-pakar ekonomi
Neoklasik generasi pertama banyak memperbaiki teori-teori ekonomi klasik,
tetapi umumnya mereka masih percaya bahwa dipasar berlaku prinsip pasar
persaingan sempurna dan bahwa perekonomian selalu menuju pada keseimbangan.
Sedangkan kelompok generasi kedua, memiliki pandangan tersendiri tentang pasar.
Mereka umumnya menolak pandangan prinsip pasar persaingan sempurna yang
dikembangkan oleh Adam Smith, sebab dalam kehidupan nyata mereka menyaksikan
banyak asumsi-asumsi kaum klasik yang terlanggar karena banyak factor yang
menyebabkan pasar tidak beroperasi sempurna.
a. Neoklasik
Generasi Pertama
Kelompok ekonomi
Neoklasik generasi pertama bisa dibedakan lagi
atas dua kelompok, yaitu:
1)
Kelompok
ekonomi Austria (The Classical Liberal
Perspectives)
2)
Kelompok
ekonomi Cambridge ( The Modern Liberal
Perspective)
Kelompok pertama
disebut kelompok Ekonomi Austria
karena hampir semua pendukungnya seperti Carl Manger, Friedlich von Wieser, dan
Eugen von Bohm Bawer berasal dari Austria. Pakar-pakar Neoklasik yang tergabung
dalam kelompok ekonomi Austria ini sangat berjasa mengembangkan teknik-teknik
matematika, terutama kalkulus. Dari tangan merekalah lahir konsep-konsep
marginal utility, marginal revenue, the
law of diminishing return, dan sebagainya yang sarat dengan
hitungan-hitungan matematis. Sejak munculnya teori “marginal revolution” yang dikembangkan oleh pakar-pakar Neoklasik
dari mazhab Austria tersebut, pembahasan ekonomi lebih bersifat mikro. Karena
ilmu ekonomi ditangan pakar-pakar Neoklasik mengalami perkembangan yang pesat
melebihi perkembangan legislasi, hal ini memeksa diceraikannya politik dari
ilmu yang semula disebut ekonomi politik. Lebih tepat, oleh pakar-pakar ekonomi
Neoklasik istilah “political”
dihilangkan dari “political economy”,
dan yang tinggal hanya “ilmu ekonomi” (
“economics”) sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri.
Ilmu ekonomi
mengalami perkembangan yang sangat pesat ditangan pakar-pakar Neoklasik
generasi pertama dari Austria ini, dan dari segi analisis juga terdapat
perbedaan yang sangat tajam antara aliran ekonimi Liberal Klasik dengan aliran
Neoklasik. Kalau ekonomi Liberal Klasik banyak menggunakan istilah-istilah
normatif seperti nilai, kesejahteraan dan utilitas berdasarkan asumsi
berlakunya hukum alami, pakar-pakar ekonomi Neoklasik menjadikan ekonomi
sebagai “ilmu murni” yang sarat dengan perhitugan-perhitungan matematika dan
“ilmu positif”, yang menghindari value
judgements, public advocacy, dan faktor-faktor nonekonomi lainnya dalam
analisis.
Adapun kelompok
kedua digolongkan didalam Ekonomi
Cambridge karena para pendirinya seperti Alfred Marshall dan kebanyakan
pendukungnya kebanyakan berasal dari university of Cambridge.
Walaupun Marshall
memiliki peran besar dalam perkembangan ilmu ekonomi, pendekatan yang digunakan
Marshall sedikit berbeda dari pendekatan pakar-pakar ekonomi lain. Perbedaan
yang mencolok antara Marshall dengan ekonomi-ekonomi lain dari mazhab Austria
yang pada umumnya “tegar” ialah Marshall lebih memperhatikan nasib kaum papa.
Bagi Marshall, ilmu ekonomi politik adalah sarana untuk memperbaiki
kesejahteraan masyarakat dan bahkan juga sebagai motor untuk mengungkap
kebenaran (an engine for the discovery of
truth) dengan mengatasi kemiskinan dan kemelaratan.
b. Neoklasik
Generasi Kedua
Pada tahun 30-an,
muncul pakar-pakar ekonomi Neoklasik generasi kedua, di antaranya Piero Srafa,
Joan Violet Robinson, dan Edward Chamberlin. Kalau pakar-pakar ekonomi Klasik
mengansumsikan pasar persaingan sempurna, pakar-pakar ekonomi Neoklasik
generasi kedua justru mengansumsikan pasar persaingan tidak sempurna, bisa
berbentuk kompetisi monopoli, oligopoly, atau monopoli. Ketidaksempunaan pasar
timbul karena asumsi-asumsi pasar persaingan sempurna seperti banyak pembeli
dan penjual, produk homogen, perusahaan bebas keluar masuk pasar, informasi
sempurna, dan sebagainya terlanggar. Kalau ada asumsi-asumsi pasar persaingan
sempurna yang terlanggar, berarti pasar tidak lagi beroperasi dalam pasar
persaingan sempurna, melainkan dalam pasar persaingan tidak sempurna.
Perbedaan dalam
cara pandang tentang pasar inilah yang membedakan ekonomi Neoklasik dengan
ekonomi Klasik. Dalam model pasar persaingan sempurna, jumlah pembeli dan
penjual banyak, dan masing-masing pelaku ekonomi, baik konsumen maupun produsen
atau perusahaan tidak mempunyai daya untuk mempengaruhi harga-harga yang
terbentuk dipasar. Namun, dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual
terbesr. Apalagi dalam pasar monopoli, hanya terdapat satu perusahaan yang
menguasai seluruk permintaan konsumen. Makin sedikit jumlah perusahaan, makin
tinggi kapasitas untuk memeperoleh keuntungan ekonomi dengan mempengaruhi
harga-harga dan output dipasar.
Apa implikasi dari
kenyataan bahwa pasar tidak berperilaku sesuai asumsi pasar persaingan sempurna
tersebut ? Bagi pemikir-pemikir Neoklasik, hal ini membuka peluang bagi
tindakan politik, dimana pemerinta perlu ikut campur “mengoreksi”
ketidaksempurnaan yang terjadi dipasar. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa
walaupun pakar-pakar ekonomi Neokalasik menganggap perlunya campur tangan
pemerintah, pada awalnya mereka tidak membahas tentang peran redistribusi,
kemiskinan, kesenjangan sosial, pendidikan, kesehatan, atau isu-isu tentang
lingkungan, melainkan hanya berupaya untuk membawa perekonomian kearah ideal
seperti yang mungkin dicapai dalam kondisi pasar yang berfungsi sempurna.
Tegasnya campur tangan pemerintah hanya dalam proses dan keputusan politik
untuk memperbaiki pasar.
Jadi, walau banyak
faktor yang menyebabkan pasar tidak bsa menjalankan fungsinya dengan sempurna,
para pemikir Neoklasik lebih banyak membahas persoalan eksternalitas, barang
public, dan pasar persaingan tidak sempurna secara umum. Soal perlunya campur
tangan untuk mengatasi masalah-masalah sosial lain seperti pemberantasan
kemiskinan, redistribusi pendapatan, mengatasi kesenjangan sosial, memajukan
pendidikan, serta memperbaiki tingkat kesehatan masyarakat dan sejenisnya sama
sekali tidak dibahas.
Untuk menghadapi
masalah eksternalitas, proses politik dapat digunakan dalam mengoreksi
defisiensi pasar dengan mengupayakan agar biaya-biaya dan penerimaan privat (privat cost and revenues) mendekati
biaya-biaya dan penerimaan sosial (social
cost and revenues). Cara yang dapat ditempuh oleh pemerintah, antara lain
melarang aktivitas yang menimbulkan eksternalitas itu sendiri, atau menetapkan
pajak (untuk aktivitas yang menimbulkan eksternalitas negatif).
Begitu juga untuk
menghadapi masalah barang publik, yaitu barang yang sekali diproduksi tidak
bisa dibatasi pengonsumsiannya pada seseorang atas sekelompok orang tertentu
(seperti jalan, mercusuar), pemerintah terpaksa mengambil alih pengadaannya
sebab pihak swasta tidak tertarik untuk memproduksinya karena orang cenderung
bertindak sebagain “pembonceng” (free-rider).
Tujuan utama
perusahaan adalah laba maksimum. Makin besar keuntungan perusahaan untuk
mempengaruhi harga-harga dan output, makin tinggi laba ekonomi yang dicapai.
Perusahaan akan menggunakan berbagai macam cara untuk memperoleh laba,
seperti berupaya memonopoli sumber bahan
mentah strategis ; menguasai teknologi (produksi, desain, pemasaran), atau
menguasai sumber modal dan financial untuk kelompok sendiri.
c. Focus perhatian
Focus perhatian
perspektif ekonomi politik Neoklasik lebih ditekankan pada perilaku para
penyelenggara negara (state actors) dan
aktor dari kalangan masyarakat (society
actors) baik dalam proses pengambilan keputusan kebijaksanaan public,
maupun implementasi kebijaksanaan itu sendiri. Menurut Grindle (1989),
teori-teori ekonomi politik Neoklasik dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
1. Pendekatan
Terpusat ke Masyarakat
Model analisis ini terpusat ke
masyarakat yang lebih focus pada penggunaan pasar-pasar politik oleh agen-agen
ekonomi.salah satu diantaranya yang paling popular adalah model masyarakat
pemburu rente (rent seeking society model).
Yang menjadi basis ataupun objek utama analisis adalah individu pribadi.
Individu diasumsikan sebagai makhluk rasional yang berusaha memaksimumkan
berbagai sumber daya guna menghimpun kekayaan.
Konsekuensi dari model ini
ialah bahwa sulit membatasi individu memanfaatkan interaksi ekonomi untuk
mencapai kepentingan pribadi, bahkan sulit juga membatasi individu memanfaatkan
pemerintah guna meningkatkan atau melindungi kepentingan pribadi mereka.
Dalam model ini, politik
dilihat sebagai alat untuk memperjuangkan kepentingan pribadi. Bisa dilakukan
melalui pemberian suara pada pemilu maupun berbagai lobi untuk mencapai
tujuannya tersebut. Tetapi, konsep lobi oleh kelompok kepentingan tidak mungkin
diperoleh melalui mekanisme pasar. Konsekuensinya, makin banyak lobi dilakukan,
makin tinggi campur tangan pemerintah dalam pembangunan ekonomi.
Melalui model ini,
sumber-sumber ekonomi hanya dimiliki dan dinikmati oleh pelaku-pelaku ekonomi
yang dekat dengan kekuasaan. Karena, kepentingan ekonomi dan kepentingan
politik telah menyatu dalam format kolusi ekonomi, di mana kekuasaan menjadi
medium yang subur sebagai alat “bagi-bagi rejeki” oleh segelintir orang.
Dari uraian tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam model masyarakat pemburu rente karakteristik utama
kehidupan politik adalah persaingan antar kelompok kepentingan untuk
mendapatkan akses terhadap perolehan keuntungan dan sumber daya yang dikuasai
dan dialokasikan oleh pemerintah.
- Pendekatan
Terpusat ke Negara
Pendekatan terpusat ke negara
dilandaskan pada asumsi bahwa negara punya agenda sendiri dalam hubungannya
dengan masyarakat.dalam analisi ekonomi politik Neoklasik, ekonomi tidak
beroperasi secara bebas dalam ruang hampa, tetapi ada keseimbangan antara pasar
dan negara, dimana negara ikut menetukan bagaimana ekonomi beroperasi. Artinya,
dalam perspektif ini, negara berperan lebih aktif.
Negara
punya kemampuan untuk mengejar dan menentukan agenda yang tidak ditentukan oleh
kepentingan privat. Ini yang disebut otonomi negara, yaitu adanya kemampuan
negara untuk bertindak bebas dan tidak ditentukan atau dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial lainnya.
Konsep
otonomi negara berarti bahwa negara bisa bertindak independent dengan tidak
ditentukan atau dipengaruhi unsur lain. Sehubung dengan otonomi negara ini,
terdapat tiga pandangan yaitu:
a.
Bahwa
negara berhasil menghadapi tekanan dari masyarakat dan mentranslasikan
keinginan sendiri ke dalam kebijakan public.
- Bahwa tindalan negara tidak
didikte atau dikontrol oleh kelompok manapun.
- Bahwa negara memiliki kapasitas
untuk menolak tekanan dari pihak luar.
Dalam pendekatan ini, focus perhatian dititikberatkan
pada mekanisme penyelenggaraan negara. Adapun yang menjadi objek analisis
adalah para politikus, birokrat, dan negara itu sendiri. Sesuai objek tersebut
maka ada tiga jenis model analisis, yaitu:
a.
Power
Seeking Politicians
Perlu dijelaskan
bahwa semua konsep tentang kekuasaan ada hubungannya dengan tujuan dan
kepentingan.Jika kepentingan bisa dilihat secara jelas oleh agen (artinya si
agen atau politikus tadi secara sadar menegejar kepentingannya),maka ia disebut
keinginan (wants),kesukaan atau preferensi (preference) atau tujuan (interest).
Selain dalam
neara,kekuasaan juga bisa muncul dalam perusahaan,di antara perusahaan,dalam
rumah tangga,di sekolah atau dalam kelompok-kelompok keagamaan.Bedanya,penggunaan
kekuasaan oleh selain Negara adalah untuk mengejar kepentingan privat,sedangkan
penggunaan kekuasaan oleh Negara adalah untuk kepentingan public.Penggunaan
kekuasaan oleh selain Negara tidak mesti (secara langsung) melibatkan perjuangan
politik atas instrument-instrumen dalam institusi-institusi kekuasaan
(pemerintah).
Penggunaan
kekuasaan untuk mencapai yang diinginkan,mungkin ada resistensi atau
perlawanan,baik dari alam,orang-orang atau dai institusi-institusi
social.Bahkan secara psikologis mungkin juga ada resistensi dari diri
sendiri.Elemen resistensi ini sangat penting dalam mendefinisikan
kekuasaan.Dalam economy dan society (1978),Max Weber mendefinisikan kekuasaan
sebagai: “The Probability that an actor in a social relationship will be in a
position to carry out his own will despite resistance,regardless of the basis
on which this probability rests”.Bagaimanapun,seorang politikus bisa saja
memanipulasi kekuasaan untuk menyingkirkan resistensi atau perlawanan dari
pihak lain.
Kekuasaan bisa
diinterprestasikan sebagai kemampuan untuk memperoleh keinginan.Untuk
memperoleh keinginan,harus dilakukan sesuatu untuk mempengaruhi,dan dengan
demikian juga,mengubah keadaan.Rayuan (persuation) dan bujukan (inducement)
juga dapat dikualifikasikan sebagai kekuasaan.
Menurut Caporaso
dan Levine (1993),ada tiga jenis kekuasaan,yaitu kekuasaan untuk menjamin
pencapaian hasil atas alam melalui pengembangan energy fisik atau teknologi
canggih agar lebih cepat/efisien dalam mencapai tujuan;kekuasaan atas orang
lain,yang bisa dilakukan dengan menaikan insentif (membujuk) atau dengan
mengancam;kekuasaan bersama-sama dengan orang lain.
Orang sering tidak
berhasil mencapai keinginannya jika ia bekerja secara sendiri-sendiri.Untuk itu
ia mungkin perlu melakukan kerja sama atau kolaborasi dengan pihak
lain.Kolaborasi mungkin sifatnya sementara atau bisa dilembagakan.Tanpa
kehadiran institusi bisa menyebabkan terhalangnya pencapaian tujuan.Dalam hal
ini kemampuan untuk membentuk institusi yang lebih berdaya untuk mencapai apa
yang diinginkan inilah yang tergolong ke dalam komponen kekuasaan dengan orang
yang lainnya.
Dalam model
analisis Power Seeking Politicians,diasumsikan bahwa para politikus adalah
makhluk rasional yang memperhitungkan laba rugi dalam setiap keputusan atau
kebijakan yang diambilnya.Kepentingan utama para politikus pada umumnya adalah
untuk mempertahankan,dan kalau dapat meningkatkan kekuasaan yang ada di
tangannya.Untuk memperoleh kekuasaan,biasanya para politikus menggunakan sumber
daya milik pemerintah yang ada dalam kekuasaannya untuk “dihadiahkan” kepada
para pendukungnya,dan menghukum mereka yang mengganggu dan menginginkan ia
turun dari kursi kekuasaannya.
Maka politikus
pada umumnya kurang reaktif terhadap tekanan kelompok kepentingan dan
sebaliknya lebih aktif berusaha memaksimumkan kesempatannya untuk tetap
memegang kekuasaan dengan menggabung koalisi-koalisi pendukung dan menggunakan
sumber daya milik public untuk “membeli” dukungan.
b.
Rent
Seeking Bureaucrats
Model terpusat ke Negara
berikutnya adalah model birokrat pemburu rente (Rent Seeking Bureucrates),yang
focus perhatiannya adalah perilaku para birokrat dalam kapasitasnya sebagai
perangkat pelaksana administrasi Negara.Seperti yang sudah disinggung waktu
menjelaskan teori perilaku birokrat,para birokrat adalah manusia biasa yang
memiliki emosi dan tata nilai serta mempunyai seperangkat tujuan pribadi yang
tidak selamanya sesuai dengan tujuan birokrasi (organisasi).Ini berarti bahwa
campur tangan pemerintah tidak selamanya didorong untuk melayani kepentingan
public,tetapi di sana sini bisa saja diarahkan untuk kepentingan
individu,perusahaan atau golongan tertentu.
Menurut Bates
(1994),jika institusi politik relative otonom dari ekonomi,mereka cenderung
akan menciptakan insentif bagi diri mereka sendiri.Ini menjelaskan mengapa
politikus yang rasional lebih menyukai kebijakan-kebijakan yang mendistorsi
pasar.Jika pemerintah mampu menggeser harga-harga menjauh dari posisi harga
keseimbangan,maka aka nada kesenjangan antara permintaan dengan penawaran,dan
dalam situasi seperti ini pejabat yang mempunyai wewenang mengontrol pasar bisa
“bermain” untuk memperoleh kepentingannya sendiri.
Selain untuk
mengejar kepentingan pribadi,campur tangan pemerintah di pasar juga dapat
digunakan untuk menciptakan kemampuan untuk membentuk jaringan patron-klien
atau menciptakan apa yang disebut “political machine”.Lewat control
pasar,pejabat pemerintah dapat mengorganisir kelompok-kelompok pendukung
fanatic yang memiliki komoditas-komoditas berharga yang sekarang menjadi langka
karena kebijakan pemerintah.Inilah sebabnya mengapa politikus lebih memilih
strategi intervensi pasar ketimbang memilih strategi pasar bebas.Walau
masyarakat lebih sejahtera dalam pasar bebas,tetapi potensi ini terhalang karena
tidak banyak tuntutan politik agar pemerintah enyah dari pasar.
Dalam ekonomi
politik neoklasik,individu-individu termasuk politikus diasumsikan
rasional.Melalui asumsi ini,kita juga bisa menjelaskan mengapa politikus tidak
mendukung strategi ekonomi pasar bebas.Permasalahanya,kebanyakan politikus yang
rasional cenderung enggan menghadapi resiko.Apalagi karena gaji mereka pada
umumnya rendah maka mereka lebih menyukai adanya “penghasilan sampingan” yang
lebih pasti dari pasar yang diregulasi dibandingkan penghasilan yang mungkin
lebih besar namun kurang pasti jika pasar dideregulasi.Jadi,walaupun para
pejabat itu menyadari bahwa kondisi mereka akan lebih baik di bawah sistem
pasar bebas,tetapi rasionalitas jangka pendek mereka akan mendorong untuk tidak
memaksa pemerintah keluar dari pasar.Karena pasar bebas adalah semacam
barang-barang public,tiap politikus yang rasional lebih memilih sebagai
pembonceng gratis dan membiarkan orang lain yang menanggung biaya-biaya
tindakan politisi,sementara ia sendiri tetap bisa menikmati keuntungan ekonomi
jangka pendek untuk diri sendiri (Bates,1994).
Secara umum,bentuk
kepentingan pribadi birokrat adalah akumulasi keuntungan ekonomi jangka
pendek,walau dalam banyak kasus birokrat juga berkepentingan mempertahankan dan
meningkatkan jabatan,atau tujuan-tujuan lainnya.Birokrat akan memanfaatkan
sumber daya (berupa kebijaksanaan) untuk memkasimumkan kepentingan pribadi baik
dengan “menjual” kebijaksanaan tersebut pada penawar dengan harga
tertinggi,atau menagalokasikan sumber daya tersebut pada pihak-pihak yang
disukainya.Jadi,apa yang kita kenal dengan istilah KKN (Korupsi kolusi dan
Nepotisme) dapat dipahami sebagai hasil dari pasar nonekonomi yang berfungsi
lewat alokasi sumber daya birokratis.
Model birokrat
pemburu rente ini sudah biasa diterapkan oleh para birokrat dalam berbagai
kebijakan public di tanah air.Di tingkat pusat,penggunaan model birokrat
pemburu rente ini sangat menonjol digunakan pada tahun-tahun terakhir
pemerintahan soeharto.Orang banyak yang bingung apakah berbagai kebijakan yang
dilakukannya bersifat politis atau dilatabelakangi oleh motif untuk mengeruk
keuntungan pribadi,anak dan keluarganya.
c.
Predatory
State
Varian ketiga dari
pendekatan terpusat ke Negara adalah model analisis Negara pemangsa (predatory
state).Yang menjadi focus perhatian dalam analisis pendekatan Negara pemangsa
ini adalah Negara itu sendiri.Jelasnya,dalam model analisis ini Negara dianggap
sebagai actor rasional yang berusaha memaksimumkan penerimaan jangka pendek.
Dalam upaya memaksimumkan
penerimaan Negara jangka pendek,Negara akan mencari bentuk-bentuk kebijaksanaan
perpajakan yang akan meningkatkan penerimaan Negara.Selain itu,Negara juga
dapat mengenakan bea ekspor-impor,mendevaluasi nilai tukar uang dalam
negeri,bahkan juga mempertahankan birokrasi yang tidak efisien.Pendeknya,segala
macam cara akan dilakukan untuk meningkatkan penerimaan Negara dalam jangka
pendek,walau hal ini dapat merugikan pembangunan ekonomi secara keseluruhan
dalam jangka panjang.Seperti yang diungkapkan oleh Killick (1988),Negara
predator yang bertindak rasional untuk mempertahankan kekuasaannya mau
menjalankan strategi-strategi pembangunan yang secara ekonomi sebetulnya adalah
tidak rasional.
- RUJUKNYA KEMBALI
EKONOMI DENGAN POLITIK
Di dalam
pendekatan neoklasik, pakar- pakar ekonomi politik menganggap bahwa ekonomi
sebagai suatu sistem yang terpisah dari politik. Meskipun begitu mereka percaya
pada realitas dan fenomena kolektif. Perspektif ekonomi politik neoklasik
justru lebih menekankan pada peran pemerintah untuk mengoreksi berbagai
kegagalan pasar. Sedangkan, peran politik negara dalam ekonomi politik
Neoklasik justru diperlukan untuk mengantisipasi penggunaan kekuasaan yang
terlalu besar di tangan perusahaan terutama dalam pasar monopoli, maupun
penggunaan kekuasaan oleh aparat dan birokrat dalam menjalankan pemerintahan.
Campur tangan
pemerintah diharapkan dapat menyelesaikan beberapa masalah yang tidak bisa
diatasi oleh pasar. Akan tetapi, kenyataannya campur tangan pemerintah ini
justru menimbulkan persoalan baru sebab, dalam melakukan aktivitasnya, para
penyelenggara negara ternyata punya kepentingan masing – masing. Hal ini
terlihat bahwa dalam menjalankan tugasnya, para penyelenggara negara melakukan
hitung – hitungan untung rugi. Jika sebelumnya pakar ekonomi Neoklasik generasi
pertama berhasil mengembangkan kalkulus
untuk memaksimumkan kesejahteraan pelaku ekonomi, maka pakar ekonomi politik
Neoklasik justru menyaksikan penerapan “kalkulus” dalam politik.
Ternyata, cerai dan
rujuknya ilmu ekonomi dengan ilmu politik ada kaitannya dengan kalkulus. Dalam
literatur perkembangan pemikiran – pemikiran ekonomi, kemajuan ilmu ekonomi
tersebut, justru berkat bantuan kalkulus yang telah membuat ilmu ekonomi dan
politik bercerai, dan memunculkan ilmu ekonomi sebagai disiplin ilmu yang
mandiri. Sebaliknya, dalam literatur ekonomi politik , “penerapan” kalkulus
dalam politik justru membuktikan bahwa ilmu ekonomi dan ilmu politik kembali
bersatu.
*Digunakan sebagai catatan mata Kuliah Ekonomi Politik